Jumat, 09 Desember 2016

Takmir Mesjid

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
       Mewujudkan masjid yang makmur dan mengoptimalkan fungsinya pastinya menjadi kewajiban bagi seluruh umat Islam. Karena, masjid adalah tempat yang suci bagi kaum muslimin, sehingga dituntut untuk mengelola dan melestarikannya. Banyak hal yang bisa dilakukan dalam rangka mengelola dan melestarikan masjid. Hal yang paling sederhana, namun memiliki nilai yang sangat besar adalah menunaikan shalat berjamaah di masjid secara rutin. Tidak hanya pahala yang didapat, tetapi juga keterikatan secara emosional terhadap masjid menjadikan jamaah semakin mencintainya. Rasa cinta itulah yang kemudian akan menjadikan semangat jamaah semakin mantap sehingga muncul keinginan untuk menghidupkan dan memajukan masjid dari ranah ibadah hingga pembinaan umat sebagai upaya pendidikan Islam nonformal.
       Untuk mengoptimalkan peran dan fungsi masjid yaitu dengan menjadikan masjid selain sebagai tempat ibadah juga sebagai tempat pembinaan umat sebagai upaya pendidikan Islam non formal. Hal tersebut dikarenakan bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi umat Islam. Dengan pendidikan, umat Islam tidak hanya memiliki kepribadian yang baik tapi juga memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas serta menguasai ajaran Islam dengan baik sehingga dapat membedakan yang haq dan bathil. Sedangkan tujuan pendidikan di masjid adalah untuk memberikan pemahaman, pengetahuan dan pembelajaran tentang Islam secara benar berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.
       Masjid merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam non formal yang paling tepat bagi proses pendidikan kaum muslimin. Karena dalam sejarahnya masjid telah lama digunakan sebagai tempat pendidikan sejak abad permulaan dakwah Islam, bahkan budaya ta’lim yang dilakukan di masjid masih banyak kita temukan. Oleh karena itu apabila masjid dijadikan sarana pendidikan bagi kaum muslimin, niscaya umat Islam akan merasakan betul keberadaan masjid tersebut. Dengan demikian akan bertambah banyak masjid yang digunakan sebagai sarana pendidikan Islam non Formal, sehingga kualitas umat Islam akan semakin bertambah pula seiring dengan pertambahan kuantitasnya.
       Untuk mewujudkan tujuan tersebut, dibutuhkan keseriusan dari para takmir masjid dalam merancang sejumlah program untuk dilaksanakan takmir masjid dan jamaahnya. Karena tanpa keseriusan dalam melakukan pembinaan tidak akan tercapai tujuan yang baik itu apalagi pembinaan umat dilakukan sebagai usaha sampingan atau dengan program yang insidental saja (Supardi, 2001 : 121). Salah satu pendukung utama dalam mewujudkan pembinaan terhadap kaum muslimin yaitu takmir masjid yang baik. Karena takmir masjid sebagai mediator dalam pembinaan umat tentunya harus memberikan teladan yang baik.
        Idealnya takmir masjid adalah seorang muslim yang memiliki kepribadian Islami dengan sejumlah ciri yang melekat pada dirinya seperti memahami ilmu agama dengan baik, menjaga shalat berjamaah di masjid, bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab serta kreatif (Faruq, 2010: 71).
        Keberadaan takmir masjid sangat penting bagi masyarakat untuk menggerakkan kegiatan masjid baik di dalam masjid maupun di sekitar lingkungan masjid. Dengan adanya berbagai aktifitas pengurus masjid diharapkan menjadi salah satu pengembangan pendidikan agama Islam yang bersifat non formal. Dengan demikian keberadaan masjid atas segala aktifitasnya mempunyai peran penting dalam pembinaan umat Islam di lingkungan sekitar masjid.
1.2   Rumusan Masalah
       Berdasarkan penegasan istilah di atas, maka permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Bagaimana peran masjid dalam pembinaan umat sebagai upaya pendidikan Islam nonformal  ?
2.      Apa saja kendala yang dihadapi masjid dalam melakukan pembinaan umat sebagai upaya pendidikan Islam nonformal di masjid ?
3.      Apa faktor pendukung proses pembinaan umat sebagai upaya pendidikan Islam nonformal di masjid?

1.3   Tujuan Kegiatan
       Tujuan dari kegiatan takmir masjid ini adalah sebagai berikut. Yaitu untuk mengetahui peran masjid dalam melakukan pembinaan umat sebagai upaya pendidikan Islam nonformal lalu mengetahui kendala-kendala yang dihadapi masjid dalam melakukan pembinaan umat sebagai upaya pendidikan Islam serta untuk mengetahui faktor pendukung proses pembinaan umat sebagai upaya pendidikan Islam nonformal.
1.4    Ruang Lingkup Kegiatan
        Kegiatan ini dilakukan di Masjid Al-Muta’alimin , Kampus FT. Untirta, Cilegon.

BAB II
                                             TINJAUAN PUSTAKA      
                                                                 
2.1 Masjid
      Masjid merupakan suatu institusi utama dan paling besar dalam Islam, serta merupakan salah satu institusi yang pertama kali berdiri. Masjid adalah rumah tempat ibadah umat Muslim. Masjid artinya tempat sujud, tempat beribadah kepada Allah SWT. Akar kata dari Masjid adalah sajadah dimana berarti sujud atau tunduk.
       Selain tempat ibadah Masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, Masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan.
       Ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, beliau memutuskan untuk membangun sebuah Masjid, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Nabawi, yang berarti Masjid Nabi (Supardi dkk: 2001:2). Masjid Nabawi terletak di pusat Madinah. Masjid Nabawi dibangun di sebuah lapangan yang luas. Di Masjid Nabawi, juga terdapat mimbar yang sering dipakai oleh Nabi Muhammad SAW. Masjid Nabawi menjadi jantung kota Madinah saat itu. Masjid ini digunakan untuk kegiatan politik, perencanaan kota, menentukan strategi militer, dan untuk mengadakan perjanjian. (Hasan Ibrohim :2009)
2.2 Fungsi Masjid
       Masjid di masa Rasulullah saw bukan hanya sebagai tempat penyaluran emosi religius semata ia telah dijadikan pusat aktivitas umat. Hal-hal yg dapat direkam sejarah tentang fungsi masjid di antaranya
1.      Tempat latihan perang. Rasulullah saw mengizinkan ‘Aisyah menyaksikan dari belakang beliau orang-orang Habasyah berlatih menggunakan tombak mereka di Masjid Rasulullah pada hari raya.
2.      Balai pengobatan tentara muslim yang terluka. Sa’d bin Mu’adz terluka ketika perang Khandaq maka Rasulullah mendirikan kemah di masjid.
3.      Tempat tinggal sahabat yang dirawat.
4.      Tempat menerima tamu. Ketika utusan kaum Tsaqif datang kepada Nabi saw beliau menyuruh sahabatnya untuk membuat kemah sebagai tempat perjamuan mereka.
5.      Tempat penahanan tawanan perang. Tsumamah bin Utsalah seorang tawanan perang dari Bani Hanifah diikat di salah satu tiang masjid sebelum perkaranya diputuskan.
6.      Pengadilan. Rasulullah menggunakan masjid sebagai tempat penyelesaian perselisihan di antara para sahabatnya.
7.      Selain hal-hal di atas masjid juga merupakan tempat bernaungnya orang asing musafir dan tunawisma. Di masjid mereka mendapatkan makan minum pakaian dan kebutuhan lainnya. Di masjid Rasulullah menyediakan pekerjaan bagi penganggur mengajari yang tidak tahu menolong orang miskin mengajari tentang kesehatan dan kemasyarakatan menginformasikan perkara yang dibutuhkan umat menerima utusan suku-suku dan negara-negara menyiapkan tentara dan mengutus para da’i ke pelosok-pelosok negeri.
8.      Masjid Rasulullah saw adalah masjid yg berasaskan taqwa. Maka jadilah masjid tersebut sebuah tempat menimba ilmu menyucikan jiwa dan raga. Menjadi tempat yang memberikan arti tujuan hidup dan cara-cara meraihnya. Menjadi tempat yg mendahulukan praktek kerja nyata sebelum teori. Sebuah masjid yang telah mengangkat esensi kemanusiaan manusia sebagai hamba terbaik di muka bumi.
Yang lebih strategis lagi, pada zaman Rasul, masjid adalah pusat pengem-bangan masyarakat dimana setiap hari masyarakat berjumpa dan mendengar arahan-arahan dari Rasul tentang berbagai hal, prinsip- prinsip keberagamaan, tentang sistem masyarakat baru, juga ayat-ayat Qur'an yang baru turun. Di dalam masjid pula terjadi interaksi antar pemikiran dan antar karakter manusia. Azan yang dikumandangkan lima kali sehari sangat efektif mempertemukan masyarakat dalam membangun kebersamaan
Bersamaan dengan perkembangan zaman, terjadi ekses-ekses dimana bisnis dan urusan duniawi lebih dominan dalam pikiran dibanding ibadah meski di dalam masjid, dan hal ini memberikan inspirasi kepada Umar bin khattab untuk membangun fasilitas di dekat masjid, dimana masjid lebih diutamakan untuk hal-hal yang jelas makna ukhrawinya, sementara untuk berbicara tentang hal-hal yang lebih berdimensi duniawi, Umar membuat ruang khusus di samping masjid. Itulah asal usulnya sehinga pada masa sejarah Islam klassik (hingga sekarang), pasar dan sekolahan selalu berada di dekat masjid.
Masjid dimasa kini memiliki fungsi dan peran yang dominan dalam kehidupan umat Islam, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Sebagai tempat beribadah,Sesuai dengan namanya Masjid adalah tempat sujud, maka fungsi utamanya adalah sebagai tempat ibadah shalat. Sebagaimana diketahui bahwa makna ibadah di dalam Islam adalah luas menyangkut segala aktivitas kehidupan yang ditujukan untuk memperoleh ridha Allah, maka fungsi Masjid disamping sebagai tempat shalat juga sebagai tempat beribadah secara luas sesuai dengan ajaran Islam.
2.      Sebagai tempat menuntut ilmu,Masjid berfungsi sebagai tempat untuk belajar mengajar, khususnya ilmu agama yang merupakan fardlu ain bagi umat Islam. Disamping itu juga ilmu-ilmu lain, baik ilmu alam, sosial, humaniora, keterampilan dan lain sebagainya dapat diajarkan di Masjid.
3.      Sebagai tempat pembinaan jamaah, Dengan adanya umat Islam di sekitarnya, Masjid berperan dalam mengkoordinir mereka guna menyatukan potensi dan kepemimpinan umat. Selanjutnya umat yang terkoordinir secara rapi dalam organisasi Tamir Masjid dibina keimanan, ketaqwaan, ukhuwah imaniyah dan dawah islamiyahnya. Sehingga Masjid menjadi basis umat Islam yang kokoh.
4.      Sebagai pusat dawah dan kebudayaan Islam, Masjid merupakan jantung kehidupan umat Islam yang selalu berdenyut untuk menyebarluaskan dawah islamiyah dan budaya islami. Di Masjid pula direncanakan, diorganisasi, dikaji, dilaksanakan dan dikembangkan dawah dan kebudayaan Islam yang menyahuti kebutuhan masyarakat. Karena itu Masjid, berperan sebagai sentra aktivitas dawah dan kebudayaan.
5.      Sebagai pusat kaderisasi umat,Sebagai tempat pembinaan jamaah dan kepemimpinan umat, Masjid memerlukan aktivis yang berjuang menegakkan Islam secara istiqamah dan berkesinambungan. Patah tumbuh hilang berganti. Karena itu pembinaan kader perlu dipersiapkan dan dipusatkan di Masjid sejak mereka masih kecil sampai dewasa. Di antaranya dengan Taman Pendidikan Al Quraan (TPA), Remaja Masjid maupun Tamir Masjid beserta kegiatannya.
6.      Sebagai basis Kebangkitan Umat Islam,Abad ke-lima belas Hijriyah ini telah dicanangkan umat Islam sebagai abad kebangkitan Islam. Umat Islam yang sekian lama tertidur dan tertinggal dalam percaturan peradaban dunia berusaha untuk bangkit dengan berlandaskan nilai-nilai agamanya. Islam dikaji dan ditelaah dari berbagai aspek, baik ideologi, hukum, ekonomi, politik, budaya, sosial dan lain sebagainya. Setelah itu dicoba untuk diaplikasikan dan dikembangkan dalam kehidupan riil umat. Menafasi kehidupan dunia ini dengan nilai-nilai Islam. Proses islamisasi dalam segala aspek kehidupan secara arif bijaksana digulirkan.
7.      Umat Islam berusaha untuk bangkit. Kebangkitan ini memerlukan peran Masjid sebagai basis perjuangan. Kebangkitan berawal dari Masjid menuju masyarakat secara luas. Karena itu upaya aktualisasi fungsi dan peran Masjid pada abad lima belas Hijriyah adalah sangat mendesak (urgent) dilakukan umat Islam. Back to basic, Back to Masjid.
Suryo AB[1] (AlTasamuh-2003) mengatakan Di era kebangkitan umat saat ini. fungsi dan peran masjid mulai diperhitungkan. Setidaknya ada empat fungsi dan peran masjid dalam memanajemen potensi umat
1.      Pusat Pendidikan dan Pelatihan. Saal ini sumber daya manusia menjadi salah satu ikon penting dari proses peletakan batu pertama pembangunan umat. Proses menuju ke arah pemberdayaan umat dimulai dengan pendidikan dan pemberian pelatihan-pelatihan.
2.      Pusat Perekonomian Umat. Koperasi dikenal sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Namun dalam kenyataannya justru koperasi menjadi barang yang tidak laku. Terlepas dari berbagai macam alasan mengenai koperasi, tak ada salahnya bila masjid mengambil alih peran sebagai koperasi yang membawa dampak positif bagi umat dilingkungannya.
3.      Pusat Penjaringan Potensi Umat. Masjid dengan jamaah yang selalu hadir sekedar untuk menggugurkan kewajibannya terhadap Tuhan bisa saja mencapai puluhan, ratusan, bahkan ribuan orangjumlah-nya. Ini bisa bermanfaat bagi berbagai macam usia, beraneka profesi dan tingkat (strata) baik ekonomi maupun intelektual, bahkan sebagai tempat berlangsungnya akulturasi budaya secara santun.
4.      Pusat Kepustakaan. Perintah pertama Allah kepada Nabi Muhammad adalah "membaca". Dan sudah sepatutnya kaum muslim gemar membaca, dalam pengertian konseptual maupun kontekstual. Saat ini sedikit sekali dijumpai dari kalangan yang dikategorisasikan sebagai golongan menengah pada tataran intelektualnya (siswa, mahasiswa, bahkan dosen dan ustadz) mempunyai hobi membaca.

2.3 Peran Masjid
       Masjid memiliki fungsi dan peran yang dominan dalam kehidupan umat Islam, beberapa di antaranya adalah: 
1.      Sebagai tempat beribadah ,Sesuai dengan namanya Masjid adalah tempat sujud, maka fungsi utamanya adalah sebagai tempat ibadah shalat. Sebagaimana diketahui bahwa makna ibadah di dalam Islam adalah luas menyangkut segala aktivitas kehidupan yang ditujukan untuk memperoleh ridla Allah, maka fungsi Masjid disamping sebagai tempat shalat juga sebagai tempat beribadah secara luas sesuai dengan ajaran Islam.

2.      Sebagai tempat menuntut ilmu,Masjid berfungsi sebagai tempat untuk belajar mengajar, khususnya ilmu agama yang merupakan fardlu ‘ain bagi umat Islam. Disamping itu juga ilmu-ilmu lain, baik ilmu alam, sosial, humaniora, keterampilan dan lain sebagainya dapat diajarkan di Masjid.

3.      Sebagai tempat pembinaan jama’ah, Dengan adanya umat Islam di sekitarnya, Masjid berperan dalam mengkoordinir mereka guna menyatukan potensi dan kepemimpinan umat. Selanjutnya umat yang terkoordinir secara rapi dalam organisasi Ta’mir Masjid dibina keimanan, ketaqwaan, ukhuwah imaniyah dan da’wah islamiyahnya. Sehingga Masjid menjadi basis umat Islam yang kokoh.

4.      Sebagai pusat da’wah dan kebudayaan Islam , Masjid merupakan jantung kehidupan umat Islam yang selalu berdenyut untuk menyebarluaskan da’wah islamiyah dan budaya islami. Di Masjid pula direncanakan, diorganisasi, dikaji, dilaksanakan dan dikembangkan da’wah dan kebudayaan Islam yang menyahuti kebutuhan masyarakat. Karena itu Masjid, berperan sebagai sentra aktivitas da’wah dan kebudayaan.

5.      Sebagai pusat kaderisasi umat , Sebagai tempat pembinaan jama’ah dan kepemimpinan umat, Masjid memerlukan aktivis yang berjuang menegakkan Islam secara istiqamah dan berkesinambungan. Patah tumbuh hilang berganti. Karena itu pembinaan kader perlu dipersiapkan dan dipusatkan di Masjid sejak mereka masih kecil sampai dewasa. Di antaranya dengan Taman Pendidikan Al Quraan (TPA), Remaja Masjid maupun Ta’mir Masjid beserta kegiatannya.

6.      Sebagai basis Kebangkitan Umat Islam , Abad ke-lima belas Hijriyah ini telah dicanangkan umat Islam sebagai abad kebangkitan Islam. Umat Islam yang sekian lama tertidur dan tertinggal dalam percaturan peradaban dunia berusaha untuk bangkit dengan berlandaskan nilai-nilai agamanya. Islam dikaji dan ditelaah dari berbagai aspek, baik ideologi, hukum, ekonomi, politik, budaya, sosial dan lain sebagainya. Setelah itu dicoba untuk diaplikasikan dan dikembangkan dalam kehidupan riil umat. Menafasi kehidupan dunia ini dengan nilai-nilai Islam. Proses islamisasi dalam segala aspek kehidupan secara arif bijaksana digulirkan.


2.4  Konsep Masjid Ideal Kampus

Di beberapa perguruan tinggi, bahkan terlihat masjid menjadi alternatif pilihan untuk mengisi waktu di luar kegiatan perkuliahan formal. Kenyataan ini terus berkembang, sehingga masjid kampus berfungsi bukan saja untuk kepentingan kegiatan keagamaan (ritual), tapi juga jenis-jenis kegiatan lainnya, seperti kelompok belajar, kegiatan seni budaya, latihan kepemimpinan, dan lain sebagainya. Pengembangan inilah yang muncul di Masjid Mardliyyah (Masjid Kampus UGM)
Masjid Kampus UGM berlokasi di Kompleks Masjid Kampus UGM, Bulaksumur, Depok, Sleman, Yogyakarta 55281. Pengembangan konsep masjid sebagaimana yang kini tampak pada Masjid Kampus UGM sebenarnya merupakan idealisasi dan fungsi sebenarnya dari anjuran penyebar agama Islam, Nabi Muhammad SAW. Konsep tersebut kini mulai terlihat di Masjid Kampus UGM, apalagi didukung oleh fasilitas yang memadai. Selain suasana yang kondusif, Masjid Kampus UGM juga memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mewujudkan konsep masjid yang ideal.
Masjid Kampus UGM kini juga berfungsi sebagai tempat wisata religius. Banyaknya tempat yang indah untuk berfoto menjadikan Masjid Kampus UGM menjadi lokasi yang sangat tepat bagi wisatawan yang ingin menikmati sensasi berkunjung ke obyek wisata religi non-suasana mistis. Maka tidaklah mengherankan jika setiap kali kita berkunjung di tempat ini, banyak wisatawan yang memanfaatkan setiap sudut ruangan dan halaman masjid untuk berfoto. Salah satu tempat favorit untuk berfoto adalah gerbang masjid dengan panorama gapura lengkung yang terbuat dari batu.
Suasana, sarana dan prasarana, serta kegiatan yang berkesinambungan di Masjid Kampus UGM membuat masjid ini layak disebut sebagai miniatur peradaban masyarakat Islami. Masjid Kampus UGM memang telah difungsikan sebagai pusat berbagai kegiatan, baik kegiatan agama, wisata, maupun pendidikan
Seluruh arsitektur Masjid Kampus UGM dikerjakan oleh mahasiswa teknik arsitektur UGM. Selain ornamen yang khas, Masjid UGM juga mempunyai menara setinggi 99 meter. Tinggi menara menyesuaikan dengan asmaul husna (nama-nama Tuhan yang baik) yang berjumlah 99 nama. Dari puncak menara ini para pengunjung dapat melihat lanskap wilayah Yogyakarta.
Tak dapat disangkal jika kemegahan Masjid Kampus UGM menjadi kebanggaan bagi civitas akademika UGM. Sebab, hingga hari ini Masjid Kampus UGM masih tercatat sebagai masjid kampus terbesar se-Asia Tenggara.
Salah satu fasilitas yang ada di Masjid Kampus UGM adalah ruang pertemuan yang sekaligus dapat berfungsi sebagai tempat diskusi dan kegiatan yang lain. Selain itu, halaman masjid juga dibuat sangat luas dengan fasilitas tempat parkir yang juga luas.
Para pengurus Masjid Kampus UGM aktif menggelar kajian keagamaan. Salah satunya adalah kajian keagamaan yang diadakan oleh Jamaah Shalahuddin Masjid Kampus UGM.
Berbagai aktivitas lain, baik yang bersifat pendidikan, kebudayaan, maupun perekonomian juga sering diselenggarakan di masjid ini. Salah satu contoh kegiatan tersebut adalah pameran fotografi karya fotografer muslim dari Inggris, Peter Sanders melalui Kedutaan Besar Inggris pada 18-23 Februari 2008.
Kegiatan perekonomian juga berlangsung aktif di masjid ini. Setiap hari terdapat penjual buku dan aksesoris muslim/ah yang berjualan di lingkungan masjid. Sedangkan setiap hari Minggu, di sekitar Masjid Kampus UGM dipakai sebagai pasar tiban yang terkenal dengan sebutan Sunday Morning. Di pasar tiban ini dijual berbagai macam makanan, mulai dari lontong Sumatra, opor ayam, sampai makanan kemasan; baju muslim, mulai dari kerudung, peci, dan baju koko; aksesoris anak muda; kaos; sepatu; sampai tanaman hias.
     

BAB III
HASIL KEGIATAN

3.1  Mengepel Tempat Wudhu Masjid Ikhwan
      Sehabis Shalat fardhu dilaksanakan, tempat wudhu ikhwan sampai pintu masuk masjid seringkali becek dan kotor bahkan terkadang berbau tak sedap. Maka perlu adanya inisiatif untuk mengepelnya. Dalam proses pengepelan ini kendala yang dihadapi adalah banyak nya jamah yang berlalu-lalang saat proses pengepelan sehingga lantai yang telah dipel kotor kembali karena waktu pengepelan dilakukan saat waktu akan dilaksanakan sholat. Sebaiknya waktu pengepelan dilakukan saat waktu setelah selesai sholat atau saat keadaan jamaah di masjid sedang sepi.
3.2  Tilawah Qur’an
       Di saat sela-sela kesibukan alangkah baiknya kita sebagai mahasiswa muslim melakukan tilawah qur’an di masjid. Karena salah satu fungsi dan peran masjid adalah  sebagai tempat ibadah. Dimana ibadah yang bisa dilakukan di masjid tidak hanya sholat saja, melainkan banyak ibadah lain yang bisa dilakukan di masjid salah satunya adalah tilawah Quran. Tilawah quran ini merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam proses pemberntukan masjid kampus yang ideal. Yaitu dengan banyaknya jamaah yang melakukan ibadah di masjid kampus setiap waktu.
3.3  Menata Atau Merapihkan Rak Buku
Seiring banyaknya jamaah yang memanfaatkan fasilitas masjid berupa buku-buku doa, alma surat, surat yasin, ataupun Al-Quran yang terdapat di rak buku terkadang semua buku-buku tertata dengan tidak rapih maka perlu ada yang merapihkan dan menata rak buku tersebut sehingga ketika ada jamaah yang ingin tilawah Al-Qur’an atau membaca buku-buku yang ada pada rak tersebut dapat memilih buku terebut dengan mudah.
Dalam upaya memakmurkan masjid kampus (takmir masjid)  kami memiliki kendala yaitu sulit membagi waktu karena adanya kesibukan dan urusan pribadi dalam kesehariannya


3.4  Mabit (Malam Bina Iman dan Taqwa)
Mabit adalah salah satu program rutin tiap semester yang diadakan di masjid Al-Muta’alimin dalam rana meningkatkan iman dan taqwa bagi mahasiswa teknik . Dengan harapan terlaksananya akan meningkatkan kulitas iman dan taqwa dalam bentuk pengimplementasian amalan amalan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pelaksanaan mabit ini masih terdapat kekurangan-kekurangan, diantaranya banyak para mahasiswa yang tidak menghadiri acara mabit, sehingga kurang tercapainya tujuan tersebut, kemudian saat acara tausiyah speaker yang digunakan kurang bagus sehingga materi yang disampaikan tidak tersampaikan dengan baik, hal ini mengakibatkan tidak kondusifnya peserta mabit. Dan pada saat acara muhasabah banyak yang tertidur dikarenakan kurangnya pegawasan dari panitia.  Solusinya dalam pelaksanaa mabit selanjutnya, lebih ditekankan kepada mahasiswa akan pentingnya acara mabit ini sehingga dalam pelaksanaannya peserta yang hadir banyak, kemudian peralatan pendukung seperti sound system lebih dipersiapkan dengan baik.
3.5  Kultum
Kultum adalah kuliah tujuh menit. Hal tersebut bertujuan untuk berdakwah tentang ajaran-ajaran Islam yang tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits-hadits yang disampaikan dengan berbicara di depan umum atau berceramah. Dalam pelaksanaannya dilakukan di depan kelas yang audiensnya adalah teman-teman serta dosen mata kuliah pendidikan Agama Islam. Pada saat pelaksanaannya kondisi kelas kurang kondusif karena masih ada beberapa mahasiswa yang belum menulis naskah kultum yang akan disampaikan sehingga apa yang disampaikan di depan masih belum terdengar oleh teman-teman yang lain. Selain itu dalam pelaksanaanya tidak ada time keeper sehingga beberapa kultum yang disampaikan berlangsung lama atau lebih dari tujuh menit


BAB IV
KESIMPULAN

4.1  Kesimpulan
Kesimpulan dari kegiatan ini adalah sebagai berikut
1.      Masjid Al- Mutaa’alimin sudah sesuai dengan masjid kampus ideal jika dilihat dari banyaknya kegiatan-kegiatan agama yang dilaksanakan dikampus. Namun  perlu adanya penekanan kapada mahasiswa FT Untirta akan pentingnya kegiatan-kegiatan tersebut agar kegiatan tersebut terlaksana dengan baik.

4.2  Saran
1.      Sebaiknya dalam pelaksanaan takmir masjid ini diperlukan adanya Badan Pengawas Kegiatan Takmir Masjid agar para mahasiswa melaksanakan kegiatan ini dengan ikhlas.
2.      Sebaiknya ada laporan tiap minggunya untuk menekankan mahasiswa agar melaksanakan takmir masjid secar rutin
3.      Sebaiknya diadakan sosialisasi tentang tata cara penulisan laporan takmir masjid agar mahasiswa tidak kebingungan saat pembuatan laporan.



 DAFTAR PUSTAKA

Harahap, Sofyan Syarfi. 1993. Manajemen Masjid; Suatu Pendekatan Teoritis dan Organisatoris. Yogyakarta: PT Dana BAkti Wakaf
Ayub, Moh.E. Mukhsin MK. Ramlan Marjoned. 2001. Manajemen Masjid; Petunjuk Praktis bagi Para Pengurus. Jakarta:  Gema Insani Press

















Posted on 07.12 / 0 komentar / Read More

Pendidikan Transformatif Agama Islam

KATA PENGANTAR           

KATA PENGANTAR …………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………ii

BAB I  :  PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang …………………………….………………………… 1
I.2 Rumusan Masalah ……………………….………………………….. 2
I.3 Tujuan Makalah …………………………….………………………. 2
I.4 Manfaat Makalah …………………………….……………………... 3

BAB 2 : Pendidikan Islam Tranformatif vs. Konvensional; Sebuah Pemetaan Awal
2.1  Pengertian atau Istilah Pendidikan …………………………………. 4
2.2 Pendidikan Tranformatif dan Pedagogi Kritis ……………………… 5
2.3 Kearah Pendidikan Islam Transformatif …………………………… 11

BAB 3  : Penutup
            3.1 Kesimpulan ………………………………………………………… 20
            3.2 Saran ……………………………………………………………….. 21

Daftar Pustaka




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 LATAR BELAKANG
Inti dari cita-cita pendidikan, terutama pendidikan agama Islam adalah terbentuknya manusia yang beriman, cerdas, kreatif, dan memiliki keluhuran budhi. Tugas utama pendidikan adalah upaya secara sadar untuk mengantarkan manusia pada cita-cita tersebut, dan pendidikan Islam juga memiliki fungsi mengarahkan kehidupan dan keberagamaan manusia kearah kehidupan Islami yang ideal.[1] Jika upaya pendidikan mengalami kegagalan dalam mengantarkan manusia kearah cita-cita manusiawi yang bersandar pada nilai-nilai ke-Tuhanan, maka yang akan terjadi adalah tumbuhnya prilaku-prilaku negatif dan destruktif, seperti kekerasan, radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme, juga ketidakpedulian sosial, yang semuanya itu mengakibatkan penderitaan semesta.
Berbagai prilaku-prilaku destruktif tersebut, yang sering muncul dinegara Indonesia, merupakan akibat dari belum munculnya pribadi-pribadi cerdas, kreatif, dan berbudi luhur. Orang yang cerdas selalu menggunakan daya nalar manusiawinya secara benar dan obyektif dalam melihat realitas sosial. Orang yang kreatif, mempunyai pilihan-pilihan dalam memenuhi dan menjawab persoalan-persoalan hidupnya. Orang yang ‘Arif (seakar kata dengan ‘Urf, tradisi) dan luhur budi (dalam bahasa agamanya al-Akhlâq al-Karîm), mampu menentukan pilihan yang paling tepat dan selalu menolak cara-cara kekerasan dalam mensikapi berbagai dilemma kehidupan. Kecerdasan dan kearifan yang bersumber pada daya kritis atas nilai diri dan sosial, sehingga mampu memberikan sinaran yang selalu tumbuh terhadap kepedulian pada sesame.[2]
Dalam konteks inilah, pendidikan agama Islam sebagai salah satu media penyadaran umat, dihadapkan pada problem begaimana mengembangkan sebuah pola pendidikan yang transformative, sebuah pola pendidikan yang mampu memberikan pemahaman dan transformasi pembelajaran yang tidak saja bertumpu pada transfer pengetahuan saja, tetapi juga transef nilai. Pendidikan transformative juga megasikan akan pola pembelajaran yang hanya berpusat pada guru (teacher centerd), tetapi lebih pada pola pembelajaran yang memberikan “ruang” bagi peserta didik untuk lebih mengaktualisasikan potensi akademisnya secara maksimal.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1.      Apa pengertian dari model pembelajaran transformatif pendidikan agama islam?
2.      Apa peran dan fungsi dari Pembelajaran Transformatif?
3.      Bagaimana cara kerja dari Pembelajaran Transformatif?
4.      Apa saja yang diperlukan dalam memilih Pembelajaran Transformatif?
5.      Bagaimana cara daftar Pembelajaran Transformatif?
6.      Sebutkan contoh-contoh dari Pembelajaran Transformatif?
7.      Jelaskan perbandingan dari kelebihan dan kekurangan dari contoh-contoh Pembelajaran Transformatif berikut?

1.3 TUJUAN MAKALAH
a.       Untuk lebih mempelajari mengenai pentingnya model pembelajaran transformatif pendidikan agama islam.
b.       Untuk membekalkan diri dengan ilmu-ilmu pendidikan yang didasarkan dengan agama islam.
c.        Untuk sekaligus mempelajari sistematika dalam pembuatan makalah yang berjudul makalah model pembelajaran transformative pendidikan agama islam.
d.       Untuk mengartikan akan pentingnya mempelajari paradigma islam mengenai model pembelajaran transformatif.
1.4  MANFAAT MAKALAH

a.        Untuk menjadikan  pemuda untuk mengenal kemajuan pendidikan agama islam.
b.        Untuk memberikan rincian mengenai model Pembelajaran Transformatif PAI.
c.        Untuk memberitahukan bagaimana cara pembelajaran transformatif dengan baik.
d.       Untuk mengetahui contoh-contoh model pembelajaran PAI.








BAB II
Pendidikan Islam Tranformatif vs. Konvensional
Sebuah Pemetaan Awal’

2.1  Pengertian atau Istilah Pendidikan

            Istilah pendidikan Islam konvensional dipakai untuk menunjukkan pola dan praktek pendidikan yang berjalan secara monoton, top-down, guruisme, sentralistik, uniform, eksklusif, formalis, dan indoktrinatif. Praktek pendidikan tersebut dianggap tidak mampu menjawab tantangan zaman dan terkesan menjadikan pendidikan Islam anti realitas. Bahkan, ada anggapan bahwa pola semacam inilah yang menjadikan dan membentuk perilaku masyarakat Islam eksklusif dan gagap terhadap perubahan dan perbedaan. Karena itu, pendidikan Islam transformatif, sebuah istilah tentatif sebagai counternarrative dari PIK, perlu dimunculkan sebagai pembanding dan teman dialog untuk ‘menghidupkan dan membumikan’ pendidikan Islam dalam konteks hereness dan nowness. Istilah transformasi itu sendiri seringkali dimunculkan oleh Lyotard ketika membahas wacana posmodernisme sebagai lawan dari modernisme. Posmodernisme merupakan kondisi budaya yang memunculkan banyak transformasi yang mengubah rule of the game dalam bidang sains, sastra, dan seni. Di bidang pendidikan, transformasi berupa perubahan aturan main dalam hal aspek, praktek, dan institusi pendidikan yang bertanggung jawab dan mentransmisikan ilmu pengetahuan dan seni.[3]
Dengan menggunakan kerangka semacam ini, bagaimana pola pendidikan Islam mampu melakukan transformasi dari praktek pendidikan yang telah ada menuju kondisi yang lebih baik, mulai dari aspek konseptualisasi hingga implementasi, seperti kelembagaan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan penyediaan SDM.
Pendidikan islam tranfromatif mengharuskan adanya perubahan cara pandang terhadap proses pendidikan dalam faktor-faktor pendidikan. Dalam hal tujuan, pendidikan harus diorientasikan untuk mencetak individu yang berkesadaran kenabian, yang mempunyai misi liberatif terhadap berbagai persoalan sosial. Pendidikan dianggap berhasil jika mampu mencetak individu yang kritis terhadap persoalan lingkungan dengan spiritualitas Islam. Untuk menghasilkan pribadi yang semacam itu, berbagai elemen pendidikan harus ditinjau ulang. Kurikulum harus lebih terkait dengan current issues sehingga dapat memberikan bekal pengetahuan dan pengalaman kepada peserta didik tentang problem riil di masyarakat.
Strategi pembelajaran harus diorientasikan untuk menghargai dan mengoptimalkan setiap potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, evaluasi pendidikan harus lebih berpijak pada potensi kemanusiaan peserta didik, bukan uniform yang dipaksakan oleh pendidik. Dalam hal pengelolaan, pengelola lembaga pendidikan harus mampu menggerakkan dan mengaktifkan setiap potensi yang ada di sekitarnya untuk ikut memikirkan persoalan pendidikan. Akhirnya, pendidikan tidak harus dimaknai sebagai proses yang berlangsung di ruang kelas saja, namun juga terjadi di luar kelas. Karena itu, upaya mensinergikan antara unit keluarga, sekolah, dan masyarakat perlu dilakukan.
   2.2   Pendidikan Tranformatif dan Pedagogi Kritis
Istilah pedagogi kritis (critical pedagogy) muncul seiring dengan maraknya kajian tentang pendidikan pembebasan, pendidikan untuk kaum tertindas, yang dilontarkan oleh Paulo Freire asal Brasil.[4] Dalam buku Conternarratives Colin Lankshear, Michael Peters, dan Michele Knobel[5] banyak mengulas pemikiran Freire yang mengusung tema pendidikan pembebasan. Menurut mereka, pendidikan kritis pada dasarnya bermula dari gagasan Freire. Menurut mereka ada beberapa ciri pendidikan kritis. Pertama, pendidikan pada dasarnya merupakan bentuk kritik sosial dan kultural, bahwa semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh relasi bahasa yang dibentuk secara sosial dan historis.
Salah satu tujuan pendidikan adalah rekonstruksi sosial. Lembaga pendidikan merupakan media yang diharapkan mampu memperbaiki dan mengkritisi berbagai persoalan yang muncul di masyarakat yang diakibatkan oleh faktor ekonomi, politik, dan budaya. Karena itu, berbagai persoalan yang berkembang dalam realitas empirik tersebut dibawa ke ruang kelas untuk dikritisi dan dicarikan jalan keluar melalui proses kodifikasi konteks. Hasil pembahasan ini kemudian ditawarkan dan dilaksanakan sebagai alternatif pemecahan. Proses ini tidak akan berjalan secara maksimal jika tidak ada kesadaran kritis dari praktisi pendidikan terutama pendidik dan peserta didik.
Kedua, eksistensi seseorang sangat terkait dengan masyarakat yang lebih luas baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, ataupun lembaga pendidikan. Artinya kesadaran seseorang pada dasarnya merupakan cermin kesadaran kolektif yang dibentuk melalui mediasi keluarga, masyarakat, sekolah dan sebagainya.[6] Sebab, ia belajar dari orang di sekitarnya. Dalam konteks pendidikan kritis, masalahnya terletak pada kondisi seseorang ketika hidup dalam konteks masyarakat yang tidak memungkinkan dia mengembangkan potensi secara optimal, bahkan mandeg karena faktor struktural atau kultural.[7] Sebagai contoh, dia hidup dalam struktur politik yang represif yang tidak memungkinkannya leluasa mengeluarkan hak berpendapat untuk mengungkapkan keinginannya. Dia bahkan mungkin tidak menyadari bahwa dia sedang mempunyai permasalahan yang disebabkan oleh persoalan ekonomi atau politik yang ‘dikondisikan’ oleh pihak lain. Untuk itu, proses pendidikan adalah upaya untuk ‘menyadarkan’ seseorang tentang kondisi dia yang sebenarnya. Dalam paradigma pendidikan kritis, dia dibawa dari kesadaran naïf[8] ke kesadaran kritis.[9]
Ketiga, fakta sosial tidak pernah dapat dipisahkan dengan ranah nilai.[10] Ini berarti bahwa berbagai aktifitas yang terjadi dalam realitas-empirik merupakan perwujudan atau cermin nilai dari sang pelaku. Karena itu, menurut paradigma ini, ada hubungan yang erat antara aktifitas dan tindakan dengan nilai, antara konsep dengan obyek dan antara signifier dengan signified. Hubungan tersebut tidak selalu tetap (fixed) dan seringkali dimediasi oleh lingkaran produksi, konsumsi, dan relasi sosial. Untuk itu, pembacaan kritis terhadap sebuah fakta sosial harus selalu dilakukan. Sebagai contoh, terma pembangunan dapat dimaknai secara beragam oleh berbagai pihak hanya karena perbedaan pemahaman dan nilai yang dibangun selama ini. Bagi pemerintah, pembangunan merupakan terma yang digunakan sebagai proses mensejahterakan masyarakat. Karena itu, jika ada pembangunan jalan tol, maka berarti ada upaya mensejahterakan masyarakat. Namun, bagi masyarakat kata pembangunan dapat berarti sebaliknya, misalnya analog dengan penggusuran, relokasi atau ganti rugi. Anggapan ini muncul karena dalam realitasnya seringkali pembangunan dilakukan tidak didasarkan pada kebutuhan riil di masyarakat, namun didasarkan pada kemauan dari penguasa (top-down). Untuk mengatasi hal tersebut, perlu ada dialog terbuka antar berbagai pihak sehingga ada persamaan persepsi antara pihak pemerintah dan masyarakat.
Keempat, bahasa merupakan pusat bagi formasi subyektifitas. Dalam perspektif ini kepentingan, kebutuhan, dan kecenderungan seseorang atau lembaga dimunculkan melalui media bahasa.[11] Di sisi lain, bahasa pada dasarnya merupakan bentuk aksentuasi pemikiran seseorang yang kemudian disepakati bersama oleh masyarakat. Karena itu, sangat banyak dijumpai ragam bahasa yang digunakan masyarakat. Kata yang dimunculkan oleh sebuah komunitas belum tentu dimaknai secara persis sama oleh komunitas lain. Karena itu, seringkali dijumpai di masyarakat ada permasalahan yang muncul diakibatkan oleh perbedaan bahasa dan kultur.
Kelima, munculnya perbedaan status di kalangan anggota masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial disebabkan oleh pemberian previlise secara tidak adil oleh pihak lain, seperti pihak birokrat, politisi, dan pemilik modal, karena kepentingan tertentu. Masalahnya, banyak anggota masyarakat yang menganggap perbedaan itu terjadi begitu saja, alami, dan niscaya. Dalam perspektif kritis, munculnya perbedaan tersebut sangat mungkin disebabkan oleh perlakuan yang tidak adil karena ada banyak kepentingan. Untuk itu, masyarakat perlu disadarkan tentang kondisi ini. Ini tidak berarti bahwa semua anggota masyarakat harus sama, namun ketika cara mendapatkan kekayaan, status social, atau jabatan itu dilakukan secara wajar dan prosedural, tentu hal ini akan diterima, sebab bagaimanapun kemampuan antara satu orang dengan yang lain berbeda.
Akhirnya, dalam perspektif kritis munculnya berbagai permasalahan di masyarakat tidak dapat dilihat hanya dari satu sisi saja, namun perlu mengaitkan dengan aspek lain.[12] Sebagai contoh, persoalan ekonomi tidak cukup hanya dilihat dari perspektif ekonomi, namun perlu dikaitkan dengan politik, budaya, bahkan pemahaman terhadap ajaran agama. Memandang permasalahan dari satu segi saja sama halnya dengan menyederhanakan masalah. Proses pendidikan harus mampu melihat persoalan yang muncul di masyarakat dari banyak perspektif. Sebagai contoh, banyaknya tenaga pendidik [guru] yang “ngobyek” di luar profesi sebagai guru tidak dapat dilihat dari aspek profesionalisme dan etos kerja guru saja, namun perlu dikaitkan dengan masalah kebijakan pemerintah yang belum menghargai profesi guru, atau rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi ini.
Keenam karakter pendidikan kritis di atas pada dasarnya merupakan proses transformasi peserta didik secara individual maupun sosial. Artinya, dalam perspektif pendidikan kritis munculnya berbagai permasalahan yang menimpa seseorang disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Secara internal, dia belum mencapai kesadaran kritis yang mampu menyelesaikan persoalan yang ada dalam diri dan juga masyarakat sekitarnya. Hal ini merupakan cermin bahwa proses pendidikan belum sepenuhnya mengoptimalkan potensi yang dimiliki peserta didik. Untuk itu, praktik pendidikan harus diorientasikan untuk mengaktualisasikan semua potensi yang dimiliki peserta didik tanpa ada kepentingan tertentu dari pihak penguasa atau pengelola lembaga pendidikan. Di sisi lain, secara eksternal, munculnya problem yang menimpa seseorang karena faktor dari luar, misalnya ketidakadilan sosial, kepentingan politik, kepentingan ekonomi pemilik modal, atau kultur yang kurang menguntungkan. Untuk itu, dia harus disadarkan melalui proses pendidikan di mana ada proses refleksi dan aksi. Refleksi dilakukan untuk membahas dan mencari alternatif pemecahan terhadap problem realitas di ruang kelas, sementara aksi merupakan tindak lanjut dari proses refleksi tersebut ke luar kelas.
Dikaitkan dengan paradigma dalam ilmu-ilmu sosial, pendidikan kritis pada dasarnya satu alur dengan paradigma transformative.[13] bukan positivistik atau interpretif. Paradigma postivistik mencakup psitivisme, neopositivisme, positivisme metodologis, dan positivisme logis, sementara paradigma interpretif mencakup interaksionisme simbolis, fenomenologi, etnometodologi, hermeneutika, psikoanalisa, etnologi, etnografi, dan sosiolinguistik, dan paradigma transformatif mencakup sosiologi kritis, conflict school of thought, Marxisme, dan feminisme.[14] Ketiga paradigma tersebut mempunyai perbedaan dalam memandang realitas, manusia, ilmu pengetahuan, dan tujuan penelitian. Dalam paradigma transformatif realitas merupakan sesuatu yang kompleks, apa yang tampak (appearance) sebenarnya belum menggambarkan realitas sesungguhnya, sebab realitas diciptakan oleh orang, bukan dikondisikan oleh alam.[15]
Di balik yang tampak terdapat banyak ketegangan karena ada banyak kepentingan dari pelaku. Pandangan ini berbeda dengan paradigma positivistik yang beranggapan bahwa ralitas bersifat obyektif, dipersepsi melalui indera, dipersepsi secara seragam oleh semua orang, dan diatur berdasarkan hukum eksternal.[16] Sementara itu, bagi paradigma interpretif, realitas bersifat subyektif, berada dalam pikiran orang dan ditafsirkan secara beragam oleh setiap orang.
Tentang manusia, paradigma transformatif berpendapat bahwa ia adalah pencipta bagi nasibnya sendiri, ia seringkali ditindas, dialienasi, dieksploitasi, dibatasi, dikondisikan, dan dihambat realisasi potensinya. Hal ini berbeda dengan paradigma positivistik yang berpandangan bahwa manusia adalah individu rasional yang mentaati hukum eksternal dan tanpa ­free will, sementara paradigma interpretif menganggap manusia sebagai pencipta dunianya sendiri, tidak dibatasi oleh hukum eksternal, dan menciptakan sistem makna.
Sementara itu, tentang ilmu pengetahuan dan tujuan penelitian, ketiga paradigma di atas mempunyai arah yang jauh berbeda. Bagi paradigma positivistik, ilmu pengetahuan didasarkan pada aturan dan prosedur yang ketat, bersifat deduktif, bergantung pada kesan indra, dan bebas nilai. Dengan pandangan ini, tujuan penelitian positivistik adalah untuk menjelaskan kehidupan sosial, memprediksi sejumlah peristiwa, dan menemukan hukum-hukum kehidupan sosial. Sementara itu, bagi paradigma interpretif, ilmu pengetahuan didasarkan pada common sense, bersifat induktif, tergantung pada penafsiran, dan tidak bebas nilai. Bagi paradigma ini tujuan penelitian adalah untuk menafsirkan dan memahami kehidupan sosial, serta menemukan makna yang dimiliki oleh orang lain. Akhirnya, bagi paradigma transformatif, ilmu pengetahuan adalah kondisi yang membentuk kehidupan, namun kondisi ini dapat diubah, bersifat membebaskan dan memberdayakan, bergantung pada kesan indra dan nilai, dan tidak bebas nilai. Dalam perspektif ini, tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan, menafsirkan, dan mengurai kehidupan sosial, mengungkap mitos dan ilusi, dan untuk membebaskan dan memberdayakan masyarakat..

2.3   Kearah Pendidikan Islam Transformatif
Secara konseptual pendidikan Islam sebenarnya sudah cukup kaya dan sempurna sebab ingin membentuk pribadi muslim sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, meskipun lebih cenderung normative.[17] Sebab, dalam realitasnya, praktik pendidikan Islam cenderung ‘idealis’ dan kurang bersentuhan dengan problem realitas-empirik. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya anggapan bahwa segala aktifitas hidup umat Islam, termasuk pendidikan, harus didasarkan pada wahyu yang given dari Tuhan dalam pengertian harfiah sehingga cenderung kurang melihat aspek realitas yang empirik.
Karena itu, wajar jika formulasi tentang konsep pendidikan Islam relatif idealis dan kurang ‘membumi’, kurang bersentuhan dengan problem realitas. Padahal, sosok Nabi sendiri yang dijadikan sebagai model bagi pendidikan Islam jelas-jelas terlibat langsung dalam penyelesaian problem di masyarakat.
Karena itu, jika paradigma pendidikan kritis diterima dengan beberapa penyesuaian, maka yang perlu dipikirkan adalah tindak lanjut secara praktis, mulai dari perumusan orientasi pendidikan Islam, pembaharuan kurikulum, penyiapan sumber daya manusia, diversifikasi strategi pembelajaran, perubahan model evaluasi, evaluasi kebijakan, dan perubahan manajemen di lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Berbagai komponen ini perlu dikaji secara terpadu, simultan, dan komprehensif. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab praktisi pendidikan Islam saja, namun semua stakeholder pendidikan harus dilibatkan, mulai dari tenaga kependidikan di lembaga pendidikan formal, peserta didik, alumni, pengguna alumni, orang tua, tokoh masyarakat, kalangan LSM, akademisi, dan pejabat pemerintah terkait. Sebab, proses pendidikan tidak dapat berjalan secara linear dan monolitik, namun secara sirkular dan melibatkan banyak komponen.
Dalam hal orientasi, pendidikan Islam seharusnya tidak sekedar membentuk kesalehan individual semata, atau kesadaran mistik dalam perspektif Iqbal, namun harus membentuk kesalehan sosial juga. Sebagaimana disinyalir Iqbal pada awal abad ke-20 dan hingga sekarang masih terasa, umat Islam di dunia Timur cenderung mengedepankan kesadaran mistik dan kesalehan individual yang diibaratkan dengan larut dengan tasbih, yang penting selamat di akhirat, sementara problem sekitar tidak begitu dipikirkan.[18] Untuk itu, orientasi pendidikan harus diarahkan untuk membentuk individu muslim yang mempunyai kesadaran kenabian dengan karakter emansipatif, liberatif dan transendental yang mampu membaca problem empirik di sekitarnya sehingga ia mampu terlibat dalam penyelesaian problem. Tetapi, di sisi lain, dia juga mampu menyelesaikan setiap problem yang menimpanya.
Perubahan orientasi perlu segera diimbangi dengan perubahan kurikulum yang akan dibekalkan kepada setiap peserta didik. Sebagaimana dirumuskan oleh al-Attas, bahwa kurikulum pendidikan Islam dikonstruk berdasarkan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, namun harus didialogkan dengan problem realitas sehingga muatannya dinamis sesuai dengan konteks waktu dan tempat.[19] Dalam pengertian ini, sebenarnya perubahan kurikulum dapat dilakukan kapan saja, tanpa menunggu jangka waktu tertentu. Sebab, ketika problem dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat berbeda dan berubah, maka harus diikuti oleh perubahan kurikulum jika tidak ingin tertinggal dengan perubahan. Kurikulum dalam perspektif pendidikan kritis harus selalu mendialogkan teks dan konteks, antara normatif dan historis. Karena itu, akan selalu ada upaya kontekstualisasi teks sehingga mampu menjawab problem bumi. Dalam pandangan Freire, akan selalu ada proses kodifikasi konteks dan dekodifikasi. Kodifikasi konteks berarti mendialogkan, mendiskusikan dan mencari alternatif pemecahan terhadap problem yang berkembang di masyarakat ke dalam ruang ruang kelas.[20] Hasil rumusan alternatif ini kemudian dibawa ke masyarakat sebagai sebuah tawaran pemecahan. Dengan demikian, ada proses refleksi di ruang kelas dan proses aksi di luar kelas secara terus-menerus. Ketika problem yang ada di masyarakat berkembang, maka perlu ada kodifikasi kembali dan begitu seterusnya.
Hanya saja, sebagaimana disinyalir oleh Rahman, umat Islam harus melihat kandungan teks al-Qur’an dan al-Sunnah secara hermeneutis, dalam arti bahwa perlu ada upaya pencarian tentang ide moral yang terkandung dalam teks al-Qur’an. Ini hanya dapat dilakukan jika umat Islam melakukan kritik sejarah terhadap diturunkannya kitab tersebut. Untuk itu, Rahman menawarkan double movement methodology untuk dapat menangkap ide moral al-Qur’an.[21] Dalam pandangannya, sejak dulu sampai akhir zaman, teks al-Qur’an tetap, namun formulasi untuk pembumiannya dinamis tergantung problem yang berkembang di masyarakat.
Berdasarkan pemikiran tersebut, kurikulum dalam pendidikan Islam kritis, apa pun nama pengetahuan yang akan diajarkan, mengharuskan ada perpaduan secara dinamis antara teks dan konteks. Untuk itu, paradigma contextual teaching learning perlu diterapkan, artinya setiap materi yang disampaikan oleh pendidik harus bermakna bagi peserta didik. Apa yang dipelajari di dalam kelas harus selalu dikaitkan dengan problem dan konteks keseharian yang dihadapi peserta didik. Sebagai contoh, ketika berbicara tentang kerusakan lingkungan, harus ada dialog antara teks al-Qur’an dengan problem lingkungan yang ada di sekitar sekolah yang bersangkutan. Jika sekolah itu bertempat di Kalimantan, maka perlu dikaitkan dengan kasus illegal logging atau pembakaran hutan. Untuk di Riau misalnya, kasus-kasus dan isu illegal logging atau pembakaran hutan  ini menjadi relevan untuk diangkat. Karena itu, dalam kurikulum ini harus lebih banyak memasukkan problem dan kearifan lokal.
Perubahan orientasi dan kurikulum tersebut, juga harus diimbangi dan dibarengi dengan penyiapan sumber daya manusia yang mampu mengimplementasikan orientasi dan kurikulum itu dalam konteks praxis. Dalam sebuah adagium Arab dikenal al-mudarris ahammu min al-maddah wa al-tariqah. Sebaik apa pun materi dan strategi pembelajaran, jika tidak dipahami oleh pendidik, maka tidak akan berjalan secara maksimal. Untuk itu, perubahan mindset di kalangan praktisi pendidikan perlu dilakukan segera. Yang perlu dicermati bahwa merubah kultur berpikir tidak semudah merubah struktur. Jika perubahan struktur dapat dilakukan dalam hitungan hari bahkan jam, maka perubahan kultur [berpikir] memerlukan waktu cukup lama, tidak hanya tahunan bahkan generasi. Tidak mengherankan jika dalam kenyataan telah terjadi perubahan struktur [pemerintahan dan pengelola lembaga pendidikan], namun belum ada perubahan kultur. Sebab, orang yang menjalankan struktur baru tersebut masih sama dengan kultur lama.
Dalam pendidikan Islam Transformatif, sumber daya manusia pertama yang harus dibenahi adalah pendidik. Ini tidak berarti yang lain tidak perlu dibenahi. Namun, para pendidiklah yang menjadi ujung tombak (avant garde) terjadinya perubahan. Sebab, mereka yang selalu terlibat langsung dengan peserta didik dan yang mengimplementasikan kurikulum. Ini berarti, berhasil tidaknya sebuah rumusan dan konsep kurikulum dalam konteks praktis sangat ditentukan oleh faktor pendidik. Semakin berkualitas pendidik, semakin berhasil dalam membawa perubahan.
Dikaitkan dengan implementasi Kurikulum 2004 yang terkenal dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), sosok pendidik sangat diharapkan untuk keberhasilan kurikulum baru tersebut. Sebab, dalam pengelolaan kurikulum yang berujung pada penjabaran silabus dan materi pembelajaran dari rumusan kompetensi minimal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat lebih diserahkan kepada pihak sekolah/madrasah, khususnya pendidik. Dalam hal ini mereka dapat bekerjasama dengan berbagai pihak terkait seperti kepala sekolah, akademisi di perguruan tinggi dan tokoh masyarakat, namun yang menjadi inisator adalah pendidik.
Posisi pendidik semakin penting mengingat penjabaran materi sangat diserahkan ke tiap wilayah, bahkan lembaga pendidikan, untuk mengembangkannya tergantung kebutuhan. Hal ini didasari oleh prinsip pengelolaan KBK ‘kesatuan dalam kebijakan dan keragaman dalam pelaksanaan.’ Karena itu, sangat dimungkingkan adanya perbedaan implementasi dan pengembangan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Bahkan, dalam satu wilayah pun sangat dimungkinkan adanya keragaman implementasi antara satu lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan lain. Untuk itu, diperlukan pendidik yang mampu menerjemahkan dan menjabarkan kompetensi dasar sesuai dengan kondisi wilayah dan sekolah.
Pendidik bukan lagi menjadi satu-satunya sumber belajar, sebab apa pun dapat dijadikan sebagai sumber belajar selama mendukung pencapaian hasil belajar. Sumber belajar yang dirancang secara khusus, seperti miniatur ka’bah, masjid, atau piramida, ataupun sumber belajar yang tinggal memanfaatkan seperti praktisi perbankan, politisi, tokoh masdyarakat, sungai, internet, radio, dan surat kabar, mempunyai fungsi yang sama dalam mengoptimalkan pencapaian hasil belajar peserta didik. Hal ini menuntut pendidik untuk semakin aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran jika tidak ingin ketinggalan dengan peserta didiknya yang dapat belajar dari banyak sumber. Berdasarkan pemikiran tersebut, dalam konteks pendidikan kritis diperlukan tenaga kependidikan yang mempunyai pengetahuan dinamis tentang strategi pembelajaran.
Proses pembelajaran harus mampu mengoptimalkan segenap potensi peserta didik dengan cara melibatkan mereka secara fisik dan mental dalam setiap pembelajaran. Untuk itu, strategi pembelajaran yang diterapkan pendidik harus mempertimbangkan setiap kecenderungan tipe belajar setiap peserta didik, apakah tipe somatik, auditif, visual atau intelektual. Peserta didik yang mempunyai kecenderungan somatik tidak akan maksimal dalam belajarnya jika pendidik menggunakan strategi belajar dengan ceramah, sebab metode ini hanya cocok bagi peserta didik dengan tipe belajar auditif. Tipe somatik hanya cocok jika pendidik menggunakan strategi yang membuat peserta didik terlibat secara fisik (learning by doing). [22]
Bergitu juga, peserta didik dengan tipe belajar visual akan tepat dan maksimal jika pendidik menggunakan strategi pembelajaran dengan contoh-contoh visual atau gambar, sementara peserta didik dengan tipe belajar intelektual akan tepat jika menggunakan strategi pembelajaran dengan penalaran.
Dis sisi lain, seorang pendidikan harus kritis mencermati persoalan kependidikan, mulai dari penyimpangan praktik pendidikan di lapangan, kebijakan yang tedak tepat sampai persoalan yang menimpa dirinya sebagai seorang pendidik. Hal ini dilakukan agar pendidik [baca : guru] tidak hanya menjadi sosok manusia yang pasrah dan pasif karena dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa atau sosok Umar Bakri yang lugu dan sederhana. Dalam perspektif kritis, kesederhanaan pendidik tentu masih sangat relevan tetapi tanpa mengabaikan peran dia yang harus kreatif dan kritis dalam menyelesaikan persoalan pendidikan. Masalah pendidikan tidak hanya diserahkan kepada para akademisi di perguruan tinggi atau pengambil keibjakan saja, namun dia juga harus berperan aktif dalam menyelesaikannya dengan kemampuan yang dimiliki.


Berdasarkan elaborasi singkat tersebut tampak bahwa diversifikasi strategi pembelajaran oleh pendidik mutlak diperlukan mengingat dalam satu kelas terdapat banyak peserta didik yang mempunyai banyak kecenderungan tipe belajar. Untuk itu, tidak ada strategi belajar yang paling tepat untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tujuan pembelajaran, kondisi peserta didik, waktu, fasilitas, dan pendidik. Yang jelas, untuk konteks pendidikan kritis, strategi pembelajaran diabdikan untuk mengoptimalkan potensi peserta didik, bukan untuk memenuhi harapan pendidik dan menghabiskan materi. Pendidik dituntut mengajar peserta didik untuk selalu dalam proses pencarian ilmu yang kritis dan dinamis, agar dia tidak terjebak pada context of justification, namun context of discovery. [23]
Perubahan lain yang perlu dilakukan jika pendidikan kritis diterapkan adalah konsep evaluasi. Evaluasi harus dimaknai sebagai upaya untuk mengetahui sejauhmana proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Karena potensi yang dimiliki peserta didik tidak tunggal, maka sasaran evaluasi juga tidak boleh tunggal. Evaluasi harus bertolak dari keragaman potensi yang dimiliki setiap peserta didik. Karena itu, evaluasi yang selama ini lebih melihat pada beberapa mata pelajaran tertentu, seperti mata pelajaran yang di-Ebtanas-kan, dalam perspektif pendidikan kritis adalah tidak tepat. Sebab, yang dihargai hanya beberapa mata pelajaran saja, belum semua mata pelajaran. Ini sama saja hanya menghargai salah satu potensi yang dimiliki peserta didik.
Idealnya, setiap potensi dan kecenderungan peserta didik dihargai. Menurut Gardner, peserta didik paling tidak mempunyai delapan kecenderungan, yang kemudian dia jelaskan menjadi ragam kecerdasan (multiple intelligence), yaitu cerdas angka, kata, ruang, irama, fisik, interpersonal, intrapersonal, dan alam.[24] Dalam perspektif ini, jika selama ini prestasi anak hanya dilihat dari mata pelajaran matematika saja, sebenarnya ini baru melihat satu jenis kecerdasan, yaitu cerdas angka, padahal tidak semua peserta didik mempunyai kecenderungan ini. Untuk itu, dalam perspektif pendidikan kritis, setiap jenis kecerdasan ini harus diapresiasi dan dioptimalkan, sehingga setiap kecenderungan anak diperhatikan. Dalam jangka panjang tidak ada anak yang merasa minder hanya karena ia tidak cerdas angka, padahal ia cerdas kata atau cerdas fisik. Selain itu, tidak ada peserta didik yang merasa ‘di atas angin’ dibandingkan teman-teman yang lain hanya karena dia mempunyai kecerdasan angka.
Berbagai agenda perubahan dalam praktek pendidikan berperspektif kritis tersebut tidak akan berjalan maksimal tanpa adanya dukungan politik dari pihak pemerintah. Untuk konteks keindonesiaan, perubahan manajemen pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi mengharuskan pemerintah [pusat] mengkondisikan berbagai aturan yang memungkinkan berjalannya konsep otonomi terutama dalam bidang pendidikan. Dalam manajemen baru ini, pemerintah pusat tidak lagi menjadi pemegang otoritas pembuatan kebijakan, apalagi sampai pembuatan juklak dan juknis. Pemerintah hanya membuat rambu-rambu yang bersifat global. Untuk itu, perlu ada evaluasi kebijakan dalam bidang pendidikan, mana kebijakan yang memberikan ruang bagi praktisi pendidikan untuk kreatif dan mana kebijakan yang menghambat dan mengekang.
Dalam konteks otonomi, kreatifitas masyarakat, khususnya pengelola lembaga pendidikan sangat diperlukan. Sebab, merekalah yang paling tahu kebutuhan dirinya. Untuk itu, pengembangan lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh pengelola lembaga pendidikan, khususnya kepala sekolah. Munculnya konsep manajemen berbasis sekolah dalam perspektif TQM (total quality management) merupakan wujud adanya pemberian keleluasaan pihak sekolah untuk merumuskan arah kebijakannya sendiri sesuai dengan kebutuhan riil, bukan ditentukan dari atas. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dia harus mampu memanaje potensi yang ada di sekitarnya, untuk itu harus mampu mensinergikan peran dan potensi para stakeholder pendidikan.










BAB III
PENUTUP



3.1 KESIMPULAN

      Dalam pembuatan makalah ini, kami dapat menyimpulkan bahwa Pendidikan merupakan unsur elementer yang tidak dapat dilepaskan dari aspek teologis. Komitmen Islam secara teologis terhadap pendidikan dapat dilacak pada al-Qur’an surat al-Alaq (96):1-14. Ayat-ayat dalam surat ini menjelaskan tentang signifikansi pengetahuan yang benar yang harus diketahui dan disebarkan umat Islam secara khusus dan umat manusia umumnya.
       Nilai-nilai dan komitmen Islam itu akan makin tampak bila dikaitkan dengan Hadits A’isyah tentang permulaan turunnya wahyu (lihat al-Bukhari, 18-24), di mana Tuhan menyuruh “membaca” kepada Muhammad. Pertama kali Nabi menolak karena dia tidak bisa membaca. Namun, Tuhan menjelaskan, “membaca” adalah kewajiban manusia; mencari dan mengamalkan pengetahuan adalah sifat intrinsik yang harus ada pada manusia. Hadits ini juga menggambarkan dengan jelas mengenai proses penyampaian pengetahuan dalam Islam, yaitu sifatnya yang sangat menekankan pada penciptaan suasana dialogis dan aktif.
      Berdasarkan paparan yang telah diuraikan diatas, semakin mempertegas bahwa konsep allama ma lam ya’lam (Tuhan mengajarkan segala hal yang tidak diketahui manusia) mengandung pengertian, Allah selalu mengajarkan suatu pengetahuan baru setiap saat kepada manusia. Sehingga manusia dituntut untuk belajar tentang apa saja sepanjang hidupnya, dan hendaknya selalu berdialog secara transformatif dengan perkembangan zaman. Manusia tidak boleh berhenti pada pengetahuan yang dimilikinya, tetapi mesti selalu mencari sesuatu “yang baru” diluar dirinya. Lebih-lebih seorang guru, sebagai bagian penting dalam proses pendidikan, menjadi lebih dituntut untuk melakukan proses transformasi ini.


3.2 SARAN
  1.   Salah satu cara untuk meningkatkan system pendidikan transformatif adalah mensinergikan peran dan potensi para stakeholder pendidikan
  2.  Diperlukan juga sebuah evalusai karena dimaknai sebagai upaya untuk mengetahui sejauhmana proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik.
  3.   Kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan penulisan makalah di kemudian hari.




                      








Daftar Pustaka
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), 90-93.
Mastuhu, “Pendidikan Islam di Indonesia Masih Berkutat pada Nalar Islami Klasik” dalam Tashfirul Afkar Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, No. 11 Tahun 2001
M. Amin Abdullah, “Preliminary Remarks on the Philosophy of Islamic Relious Sciences” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 61 tahun 1998,
Muqawim, “Mencari Format Baru Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural” dalam Jurnal Ta’dib Vol. IV No. 02, September 2001: 89-113 dan
________, “Shifting Paradigm Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural” dalam M. Amin Abdullah dkk., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga dan KLS, 2002)
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk. (Bandung: Mizan, 2003),
[1] Abdul Munir Mulkhan. Paradigma Intelektual Muslim : Pengantar Filsafat Pendidikan dan Dakwah, (Yogyakarta : SIPRESS. 1993), hlm. 237.
[2] Abdul Munir Mulkhan, “Humanisasi Pendidikan Islam” dalam Tashwirul Afkar, No 11, tahun 2000, hlm. 11.
[3] Untuk selanjutnya, lihat tulisan Michael Peters dan Colin Lankshear, “Postmodern Counternarratives” dalam Henry Giroux, et al., Counternarratives Cultural Studies and Critical Pedagogies in Postmodern Spaces (New York & London: Routledge, 1996), 9.
[4] Lihat karya Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Seabury, 1970) dan Education for Critical Consciousness (New York: Seabury, 1973).
[5] Misalnya Lihat Henry Giroux, Colin Lankshear, Peter McLaren, dan Michael Peters, Counternarratives: Cultural Studies and Critical Pedagogies in Postmodern Spaces, (New York & London: Routledge, 1996), 125-126.
[6] Joe L. Kincheloe, and McLaren, Peter, "Rethinking Critical Theory and Qualitative Research," in Norman K. Denzin and Yuonna S. Lincoln (Eds.) Handbook of Qualitative Research (Second Edition). (London: Sage Publication, Inc., 2000), 139-140.
[7] Colin Lankshear, Michael Peters and Michele Knoebel, “Critical Pedagogy and Cyberspace” in Henry Giroux, Colin Lankshear, Peter McLaren, dan Michael Peters, Counternarratives, 150.
[8] Sebagai ilustrasi, kesadaran naïf adalah ketika seseorang mengetahui bahwa dia sebenarnya ‘bermasalah’, namun tidak kuasa mengatasi karena dikondisikan secara eksternal seperti ekonomi, politik, hokum, dan budaya.
[9] Sementara itu, kesadaran kritis terjadi ketika seseorang menyadari permasalahan yang dihadapi [dan problem masyarakat sekitar] dan aktif dalam pencarian alternative pemecahan.
[10] Peter McLaren, “Liberatory Politics and Higher Education: A Freirean Perspective” in Henry Giroux, Colin Lankshear, Peter McLaren, dan Michael Peters, Counternarratives, 125.
[11] Ibid.
[12] Peter McLaren, “Liberatory Politics”, 126.
[13] Elliot W. Eisner, “Curriculum Ideologies” in Philip W. Jackson (ed.), Handbook of Research on Curriculum (New York: Simon and Schuster Macmillan, 1996), 314-316.
[14] Sotirios Sarantakos, Social Research, 2nd edition (Australia: Macmillan Education Australia Pty Ltd., 1998), 33.
[15] Ibid,hlm. 36
[16] Ibid.
[17] Baca kajian Azyumardi Azra tentang literature pendidikan Islam yang ada di Indonesia. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), 90-93. Bandingkan dengan Muqowim, “Dinamika Kajian Islam “Mazhab Sapen” Pemetaan atas Karya Disertasi di Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta” dalam Profetika Jurnal Studi Islam, Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 53-57.
[18] K.G. Saiyidain, “Progressive Trends in Iqbal’s Thought” in Eminent Scholars, Iqbal as A Thinker (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1991), 56.
[19] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk. (Bandung: Mizan, 2003), 266.
[20] Peter McLaren, “Liberatory Politics and Critical Pedagogy”, 142.
[21] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 15
[22] Dave Meier, The Accelerated Learning Handbook (USA: McGraw-Hill Co., 2000), 41-52
[23] M. Amin Abdullah, “Preliminary Remarks on the Philosophy of Islamic Relious Sciences” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 61 tahun 1998, 6

[24] Lihat karya-karya bukunya Gordon Dryden and Jeannette Vos, The Learning Revolution To Change the Way the World Learns , 443 dan 489; Thomas Armstrong, Multiple Intelligence in the Classroom (ASCD, 1994).
Posted on 07.10 / 0 komentar / Read More
 
Copyright © 2016. Ngerjain Tugas Yuk... . All Rights Reserved
Home | Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Site map
Design by Nugas Melulu . Published by White Simple