BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Aktifitas
atau kegiatan profesi humas (public
relations profesional)
yang
berkaitan dengan fungsi dan peran kehumasan tersebut tidak terlepas dari etika
kehumasan sebagai patokan atau rambu-rambu yang yang paling penting dan paling
mendasar, serta harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap praktisi humas (public
relations practioner). biasanya hal tersebut dituangkan ke dalam bentuk
pasal-pasal yang formal dan normatif, yaitu berisikan kode prilaku dan kode
etik sebagai pedoman moral atau acuan yang mengikat bagi setiap insan
penyandang profesi humas yang disebut kode etik profesi humas. dan aplikasi
yang mengacu pada nilai-nilai moral, etis, etika kode prilaku (code of
conduct), serta nilai filosofis, norma, serta sanksi pelanggaran yang terjadi
dan dituangkan dalam bentuk kode etik profesi humas.
Etika mendorong dan mengajak setiap
individu untuk bersikap kritis dan rasional dalam mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri yang dapat
dipertanggung jawabkan (bersifat otonom). Dalam hal ini tidak ada campur tangan
dari individu yang lain karena secara sadar setiap inividu berusaha untuk
memutuskan berdasarkan pendapatnya sendiri. Etika terungkap dari perilaku moral
dalam situasi tertentu. Peran etika dalam kehidupan pribadi dan praktisi
sendiri juga sama pentingnya.
Etika profesional adalah tindakan seseorang dirancang
untuk menciptakan kebaikan yang paling tinggi baik bagi klien maupun bagi
komunitas secara keseluruhan, bukan untuk meningkatkan posisi dan kekuasaan praktisi.
Perilaku profesional di dasarkan pada apa yang secara umum di anggap sebagai
motif yang luhur, yang di pantau dan di ukur berdasarkan kode perilaku yang
berlaku dan di laksanakan melalui interpretasi kongkrit bagi mereka yang
menyimpang dari standar kinerja yang telah di terima. Kode perilaku profesional
di tujukan untuk menentukan norma perilaku yang dapat di terima bagi para
karyawan dan profesional dalam berkarya.
Hubungan klien dalam hal ini adalah
media dengan profesional merupakan sebuah hubungan kepercayaan, hubungan
kepercayaan ini berbeda dengan hubungan dengan pelayan ketrampilan. Etika
profesi merupakan norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah, ukuran-ukuran yang
diterima dan di taati oleh para pegawai atau karyawan, berupa peraturan-peraturan,
tatanan yang di taati semua karyawan dari organisasi tertentu, yang telah di
ketahuinya untuk di laksanakan, karena hal tersebut melekat pada status atau
jabatannya. Dalam kata lain etika profesi adalah kebiasaan yang baik atau
peraturan yang diterima dan ditaati oleh para karyawan dan telah mengendap
menjadi bersifat normatif.
Sebagian besar organisasi
profesional dan banyak perusahaan bisnis lainnya mempunyai kode etik. Dalam
setiap profesi tersebut pasti memiliki kode etik yang berbeda. Dalam usaha mencanangkan
patokan dari perilaku bertanggung jawab, mereka harus menegakkan kode etik yang
merupakan dasar bagi profesionalisme sesuai dengan pernyataan mereka dengan
pertimbangannya adalah kredibilitas. Etika profesi sangat penting terutama
dalam rangka untuk pembinaan karyawan, untuk meningkatkan mutu serta mewujudkan
pribadi karyawan yang jujur, bersih, berwibawa, semakin mempunyai rasa memiliki
organisasi, tanggung jawab, dalam keterlibatannya untuk mengembangkan
organisasinya, rasa ikut memilikinya besar.
Etika profesi dapat membimbing
karyawan dalam menjalankan tugasnya sehingga mampu menyelesaikan tugas-tugasnya dengan seksama, etos kerja yang tinggi,
dengan tanggung jawab, sehingga memperoleh hasil yang memuaskan. Selain itu
etika profesi juga dapat memberi arah, petunjuk untuk membentuk kepribadian
seseorang sesuai dengan profesinya kemudian hasil kerjanya dapat memuaskan
publik yang dilayaninya.
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah etika
profesi humas sudah diterapkan oleh BPJS Ketenagakerjaan
2.
Bagaimanakah ketaatan pegawai
bagian Humas pada kode etik yang berlaku
3.
Adakah sanksi atau kebijakan
untuk pegawai yang melanggar kode etik tersebut
B.
Tujuan
penelitian
1.
Untuk mengetahui
apakah etika profesi humas sudah di terapkan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
2.
Untuk mengetahui sejauh mana
ketaatan pegawai bagian Humas pada kode etik yang berlaku
3.
Untuk mengetahui
apa sajakah sanksi atau kebijakan untuk pegawai yang
melanggar kode etik tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Deskripsi Perusahaan
BPJS Ketenagakerjaan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan) merupakan
program publik yang memberikan perlindungan bagi tenaga kerja untuk mengatasi risiko
sosial ekonomi tertentu dan penyelenggaraannya menggunakan mekanisme asuransi sosial. Sebagai Lembaga Negara
yang bergerak dalam bidang asuransi
sosial BPJS Ketenagakerjaan yang dahulu bernama PT Jamsostek (Persero)
merupakan pelaksana undang-undang Jamninan
sosial tenaga kerja.BPJS Ketenagakerjaan sebelumnya bernamaJamsostek (jaminan sosial
tenagakerja), yang dikelolaoleh PT.
Jamsostek (Persero), namun sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT.
Jamsostek berubah menjadi BPJS
Ketenagakerjaan sejak tangga l Januari 2014. BPJS
Kesehatan dahulu
bernama Askes bersama BPJS Ketenagakerjaan merupakan program pemerintah dalam kesatuan
JaminanKesehatanNasional (JKN)
yang diresmikan pada tanggal 31
Desember 2013.
Untuk BPJS
Kesehatan mulai
beroperasi sejak tanggal 1
Januari 2014,
sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1
Juli 2015.Direktur
utama saat ini adalah Elvyn G. Masassya.
Sejarah
Perusahaan
Penyelenggaraan
program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan kewajiban Negara
- untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan
kondisi kemampuan keuangan Negara. Indonesia seperti halnya negara berkembang
lainnya, mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social
security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas
pada masyarakat pekerja di sektor formal Sejarah terbentuknya PT Jamsostek
(Persero) mengalami proses yang panjang, dimulai dari UU No.33/1947 jo UU
No.2/1951 tentang kecelakaan kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP)
No.48/1952 jo PMP No.8/1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha
penyelenggaraan kesehatan buruh, PMP No.15/1957 tentang pembentukan Yayasan
Sosial Buruh, PMP No.5/1964 tentang pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial
(YDJS), diberlakukannya UU No.14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja. Secara
kronologis proses lahirnya asuransi sosial tenaga kerja semakin
transparan.Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan
hukum, bentuk perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun 1977
diperoleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah (PP) No.33 tahun 1977 tentang pelaksanaan program asuransi sosial
tenaga kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha swasta dan
BUMN untuk mengikuti program ASTEK. Terbit pula PP No.34/1977 tentang
pembentukan wadah penyelenggara ASTEK yaitu Perum Astek.Tonggak penting
berikutnya adalah lahirnya UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (JAMSOSTEK). Dan melalui PP No.36/1995 ditetapkannya PT Jamsostek sebagai
badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Program Jamsostek memberikan
perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan
keluarganya, dengan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan
penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan
yang hilang, akibat risiko sosial. Selanjutnya pada akhir tahun 2004,
Pemerintah juga menerbitkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional. Undang-undang itu berhubungan dengan Amandemen UUD 1945
tentang perubahan pasal 34 ayat 2, yang kini berbunyi: "Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan".
Manfaat perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada pekerja
sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatkan motivasi
maupunproduktivitas kerja. Kiprah Perusahaan PT Jamsostek (Persero) yang
mengedepankan kepentingan dan hak normatif Tenaga Kerja di Indonesia dengan
memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang mencakup Program Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya
terus berlanjutnya hingga berlakunya UU No 24 Tahun 2011. Tahun 2011,
ditetapkanlah UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Sesuai dengan amanat undang-undang, tanggal 1 Januri 2014 PT Jamsostek akan
berubah menjadi Badan Hukum Publik. PT Jamsostek (Persero) yang bertransformsi
menjadi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan tetap
dipercaya untuk menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja, yang
meliputi JKK, JKM, JHT dengan penambahan Jaminan Pensiun mulai 1 Juli
2015.Menyadari besar dan mulianya tanggung jawab tersebut, BPJS Ketenagakerjaan
pun terus meningkatkan kompetensi di seluruh lini pelayanan sambil
mengembangkan berbagai program dan manfaat yang langsung dapat dinikmati oleh
pekerja dan keluarganya. Kini dengan sistem penyelenggaraan yang semakin maju,
program BPJS Ketenagakerjaan tidak hanya memberikan manfaat kepada pekerja dan
pengusaha saja, tetapi juga memberikan kontribusi penting bagi peningkatan
pertumbuhan ekonomi bangsa dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
B.
Teori Komunikasi
Dalam kaitannya kegiatan komunikasi,
public relations menjalankan komunikasi dengan tujuan untuk menciptakan sebuah
efek, yaitu berupa citra perusahaan (corporate image). Menyelenggarakan
komunikasi untuk membentuk citra korporasi atau organisasi di mata pihak luar
dimaksudkan untuk menumbuhkan saling pengertian di antara korporasi atau
organisasi dan pihak luar itu. Bagi korporasi, pihak luar yang dimaksudkan
adalah masyarakat, baik sebagai konsumen, pemasok, agen, atau rekanan
korporasi. Saling pengertian antara korporasi atau organisasi dan masyarakat,
berkembang melalui hubungan baik antara keduanya. Adapun hubungan baik ini
terjadi apabila terselenggara komunikasi yang baik pula (public relationship).
Dari situlah terbentuk citra korporasi atau organisasi (corporate image) di
mata pihak luar. (Siregar, 2000:42) Hal ini tentunya sesuai dengan definisi PR
berdasarkan tujuan kegiatannya, yang dirumuskan oleh seorang praktisi Public
Relations, Dr. Carter McNamara (Iriantara, 2005:9) yaitu humas sebagai aktivitas
berkelanjutan untuk menjamin perusahaan memiliki citra yang kuat di mata
publik. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya PR merupakan proses
komunikasi kepada publik untuk menjalin relasi yang baik sehingga tercapai
tujuan untuk membangun, membina, dan menjaga citra yang positif atau reputasi
baik. Definisi yang serupa juga dituliskan pada kamus IPR terbitan bulan
November 1987 yang mendefinisikan praktek humas atau PR adalah keseluruhan
upaya yang dilangsungkan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka
menciptakan dan memelihara niat baik dan saling pengertian antara suatu
organisasi dengan segenap khalayaknya. (Jefkins, 1998:17)
Pengertian
Hubungan Masyarakat (humas) menurut “The International Public
Relations Associations (IPRA)”, Hubungan masyarakat adalah fungsi manajemen
dari sikap budi yang berencana dan berkesinambungan, yang dengan itu
organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga yang bersifat umum dan pribadi
berupaya membina pengertian, simpati dan dukungan dari mereka yang ada
kaitannya atau yang mungkin ada hubungannya dengan jalan menilai pendapat umum
diantara mereka, untuk mengkorelasikan, sedapat mungkin kebijaksanaan dan tata
cara mereka, yang dengan informasi yang berencana dan tersebar luas, mencapai
kerja sama yang lebih produktif dan pemenuhan kepentingan bersama yang lebih
efisien.
Sedangkan menurut W.
Emerson Reck , humas adalah kelajutan dari proses penetapan kebijaksanaan,
penetuan pelayanan dan sikap disesuaikan dengan kepentingan orang-orang atau
golongan agar orang atau lembaga itu memperoleh kepercayaan dan itikad baik
dari mereka. Kedua, pelaksanaan kebijaksanaan, pelayanan dan sikap adalah untuk
menjami adanya pengertian dan penghargaan yang sebaik-baiknya.
Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan
kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral. Manusia disebut
etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya
dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang
lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri
sendiri dengan penciptanya. Termasuk didalamnya membahas nilai-nilai atau
norma-norma yang dikaitkan dengan etika (Keraf, 1991 : 23).
Kata etiket adalah
berkaitan dengan nilai sopan
santun, tata krama dalam
pergaulan formal. Persamaannya adalah mengenai perilaku manusia secara normatif
yang etis. Artinya memberikan pedoman atau norma-norma tertentu yaitu bagaimana
seharusnya seseorang itu melakukan perbuatan dan tidak melakukan perbuatan dan tidak
melakukan sesuatu perbuatan.
Pengertian etiket menurut pendapat ahli yaitu
merupakankumpulan tata cara dan sikap
baik dalam pergaulan antar manusia yang beradab. Pendapat lain
berkaitan dengan etiket adalah tata aturan sopan santun yang disetujui oleh masyarakat tertentu
dan menjadi norma serta panutan dalam bertingkah laku sebagai anggota
masyarakat yang baik dan menyenangkan.
C.
KODE
ETIK PROFESI HUMAS
Howard Stephenson dalam bukunya Hand Book of
Public Relations (1971) mengatakan bahwa definisi profesi humas adalah “The
practice of skilled art or service based on training, a body of knowledge,
adherence to agree on standard of ethics.” Artinya, kegiatan humas atau public
relations merupakan profesi secara praktis memiliki seni keterampilan atau pelayanan
tertentu yang berlandaskan latihan, kemampuan, dan pengetahuan serta diakui
sesuai dengan standar etikanya. Setiap penyandang profesi tertentu harus dan
bahkan mutlak mempunyai kode etik sebagai acuan bagi perilaku dalam pelaksanaan
peran (role) dan fungsi (function) profesinya masing-masing kode etik bersifat
mengikat, baik secara normatif dan etis, maupun sebagai tanggung jawab dan
kewajiban moral bagi para anggota profesi bersangkutan dalam menjalankan
aktivitas kehidupannya di masyarakat. Pemahaman tentang pengertian kode etik,
etik profesi dan etika kehumasan serta aspek-aspek hukum dalam aktivitas
komunikasi penting bagi praktisi atau profesional PR/Humas dalam melaksanakan
peran dan fungsinya untuk menciptakan citra baik bagi dirinya (good performance
image) sebagai penyandang profesional PR/Humas dan citra baik bagi suatu
lembaga atau organisasi (good corporate image) yang diwakilinya. 49 Menurut G.
Sachs dalam bukunya The Extent and Intention of PR and Information Activities
terdapat tiga konsep penting dalam etika kehumasan sebagai berikut: 1. The
Image, the knowledge about us and the attitudes toward us the our different
interest groups have. (Citra adalah pengetahuan mengenai kita dan sikap
terhadap kita yang mempunyai kelompok-kelompok dalam kepentingan yang saling
berbeda). 2. The Profile, the knowledge about an attitude towards, we want our
various interest group to have. (Penampilan merupakan pengetahuan mengenai
suatu sikap terhadap yang kita inginkan untuk dimiliki kelompok kepentingan kita
yang beragam). 3. The Ethics is branch of philosophy, it is a moral philosophy
or philosophical thinking about morality. Often used as equivalent ti right or
good. (Etika merupakan cabang dari ilmu filsafat, merupakan filsafat moral atau
pemikiran filosofis tentang moralitas, biasanya selalu berkaitan dengan
nilai-nilai kebenaran dan kebaikan). Dari penjelasan di atas dapat ditarik
suatu pengertian secara umum bahwa citra adalah cara masyarakat memberikan
kesan baik atau buruk terhadap, diri kita. Penampilan selalu berorientasi ke
depan mengenai bagaimana sebenarnya harapan tentang keadaan diri kita, 50
sedangkan bahasan etika merupakan acuan bagi kode perilaku moral yang baik dan
tepat dalam menjalankan profesi kehumasan. Pada tahun 1965, dalam pertemuan
Asosiasi Humas Internasional (IPRA) di Athena, Yunani telah diterbitkan Code of
Athens atau International Code of Ethics untuk mempertegas kode perilaku
praktisi humas dari kode etik IPRA (IPRA Code of Conduct), dan pada November
1991, selain kode etik IPRA juga. ditetapkan IPRA Nairobi Code For
Communication On Environment and Development. Perkembangan selanjutnya, kode
etik IPRA tersebut telah memberikan inspirasi agar dapat diratifikasi ke
berbagai organisasi profesi PR/Humas di seluruh dunia. Organisasi humas di
Indonesia pun mengadopsinya, misalnya organisasi profesi Perhumas (Perhimpunan
Humas Indonesia) yang didirikan pada tanggal 15 Desember 1972. Pada peristiwa
Konvensi Nasional Humas di Bandung pada akhir tahun 1993 telah diterbitkan
“Kode Etik Kehumasan Indonesia” (KEKI) yang isi atau materi dari bab ke bab
pasal kode etiknya tidak jauh berbeda dengan pedoman moral kode etik IPRA. Kode
Etik IPRA (International Public Relations Association) yang telah diperbarui di
Teheran, Iran pada tanggal 17 April 1968, secara normatif dan etis memuat
butir-butir terdiri dari satu mukadimah dan berisikan 13 pasal. Secara garis
besar kode etik IPRA mencakup butirbutir pokok sebagai Standard Moral of Public
Relations sebagai berikut: 1. kode perilaku; 51 2. kode moral; 3. menjunjung
tinggi standar moral; 4. memiliki kejujuran yang tinggi; 5. mengatur secara
etis mana yang boleh diperbuat dan tidak boleh diperbuat oleh Profesional
PR/Humas. Pedoman standar moral dari Kode etik IPRA tersebut di atas sebenarnya
cukup sederhana dan hanya berisikan pasal-pasal pokok yang memiliki
fleksibilitas tinggi dan mudah untuk diratifikasi ke dalam kode etik
masing-masing organisasi profesi kehumasan di setiap negara yang telah menjadi
anggota Organisasi Profesi Humas Internasional (IPRA) sekaligus sebagai negara
anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Jika dari lima point garis besar
pedoman standar moral Kode Etik IPRA (Code of Conduct) tersebut ditarik
intinya, maka point nomor 1, 2, dan 3 mengatur kode perilaku dan moral seseorang
sebagai penyandang profesional PR/Humas. Point nomor 4 menunjukkan adanya
integritas kepercayaan dan tanggung jawab pribadi profesional Humas/PR yang
tinggi. Sementara itu, point nomor 5 berkaitan dengan suatu kebolehan (mogen)
dan larangan (verbod) terhadap suatu tindakan tertentu yang seharusnya atau
tidak dilakukan oleh profesi kehumasan berdasarkan pertimbangan moral, baik
dilihat secara etis, etika profesi dan moral, maupun peraturan normatif yang
harus dipatuhi dan ditaati oleh yang bersangkutan. 52 Dengan demikian, tidak
heran jika kode etik PR/Humas tersebut merupakan "Standar Moral atau
Piagam Moral," yang memuat prinsip-prinsip dasar atau rambu-rambu dan
patokan kode perilaku (code of conduct) baik individual sebagai penyandang Profesi
PR/Humas (PRO by Profession), maupun dilihat dari fungsi atau peranan PR/Humas
dalam suatu organisasi (PR by Function). Artinya, pertama kode etik PR/Humas
menjadi pedoman etis bagi pelaku (subjek) yang terlibat dalam menjalankan
profesi kehumasan yang menjadi pilihan hidupnya. Kedua, ditujukan dalam proses
pelaksanaan fungsi kehumasan, pengambilan keputusan, serta kebijakan yang
memiliki kewajiban, tanggung jawab, dan kewewenangannya dalam struktur atau
proses manajemen organisasi dengan memiliki kualifikasi tertentu, teknis
pekerjaan (job specification technic) dan jabaran kerja (Job description) yang
jelas, terbuka, profesional, dan proporsional untuk berkerja sama dengan bagian
terkait lainnya secara koordinatif. Saat ini beberapa organisasi kehumasan di
Indonesia sudah membentuk Kode Etik Kehumasan (KEKI) untuk kalangan profesi
PR/Humas, baik untuk organisasi Humas Kedinasan Departemen Pemerintah yang
dikenal dengan nama Bakohumas (Badan Koordinasi Kehumasan Pemerintah) maupun
untuk kalangan nonpemerintah, seperti organisasi profesi Perhumas (Perhimpunan
Humas Indonesia), APPRI (Asosiasi jasa Konsultan Humas), H-3 53 (Himpunan Humas
Hotel), kalangan profesional PR perhotelan berbintang, dan Forkomas (Forum
Komunikasi Humas) Perbankan. Kemudian masing-masing organisasi tersebut telah
memiliki Dewan Kehormatan, Dewan Pengawas, Pengurus Pusat dan Daerah, serta
para anggota organisasi profesi yang tersebar luas di berbagai organisasi atau
lembaga di pusat dan daerah. Kalau diperhatikan perkembangannya sejak paskakemerdekaan,
orde lama, orde baru, hingga pada era pemerintahan reformasi, sampai saat ini
KEKI dan organisasi profesi Humas Indonesia belum memiliki konsep akreditasi
(sertifikasi profesional) atau kewewenangan organisasi profesi Humas/PR untuk
menilai kualitas dan kualifikasi tingkat keprofesionalan kehumasan seseorang
secara resmi dan diakui, khususnya dalam mengantisipasi persaingan global dan
menghadapi AFTA 2003. Misalnya, organisasi IDI (Ikatan Dokter Indonesia) selama
ini dapat memberikan penilaian layak atau tidaknya kualifikasi seorang dokter
profesional dapat melakukan praktik umum (praktik privat). Organisasi PII
(Persatuan Insinyur Indonesia) sebagai wadah bagi profesi "tukang
insinyur" berwewenang memberikan akreditasi atas sertifikasi keinsinyurannya
sehingga yang bersangkutan dapat mengubah gelar akademik ST (sarjana teknik)
menjadi gelar profesi "Ir" di belakang nama seseorang yang dianggap
telah berhak menyandang "gelar tukang insinyur" secara terus-menerus
dan 54 diakui profesionalisme, kualifikasi, dan tingkat keahliannya, baik di
tingkat nasional maupun internasional. Seperti halnya di Amerika Serikat,
akreditasi (accreditation) kalangan profesional PR/Humas dilakukan oleh
organisasi Humas PRSA (Public Relations Society of America) dan IABC (International
Association of Business Communication) yang memiliki kewenangan pemberian
lisensi atau sertifikasi resmi bagi kalangan praktisi dan profesional PR/Humas
melalui ujian kualifikasi dan wawancara tertentu oleh tim khusus sebagai
penilai dari organisasi tersebut sejak tahun 1991. Pihak praktisi yang telah
lulus, mendapat penilaian tingkat keahlian atau profesional tertentu. Orang
yang bersangkutan berhak memperoleh sertifikasi resmi serta dapat mencantumkan
gelar profesional Humas "APR" (Accredited Public Relations) atau
"ABC" (Accredited Business Communication) di belakang namanya. Di
samping itu, secara aktif, selektif, dan terencana baik melaksanakan akreditasi
penilaian tentang program pendidikan dan pelatihan PR yang berkelanjutan serta
program akreditasi sertifikasi profesional dan pelayanan umum lainnya agar
eksistensi profesi humas di masyarakat dapat dipertanggungjawabkan
keberadaannya, dipercaya, dan diakui secara resmi. Organisasi Profesi Humas
Internasional (IPRA) didirikan di London, Inggris pada tahun 1955 dan bermarkas
di Jenewa, Swiss. 55 Organisasi tersebut telah memperoleh pengakuan atau berada
di bawah naungan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang kini memiliki
keanggotaan sedikitnya 77 negara di dunia. Perbandingan keanggotaannya yaitu
dari Eropa 54 persen, Asia dan Australia 20 persen, Amerika Serikat 14 persen,
dan Timor Tengah serta Afrika 12 persen. Landasan patokan utama dari etika
profesi dan kode etik IPRA adalah berdasarkan prinsip-prinsip dasar PBB sebagai
berikut: 1. The Universal Declaration of Human Right (Menghormati dalam
pelaksanaan tugas profesinya dengan memperhatikan prinsip-prinsip moral dari
deklarasi umum tentang hak-hak asasi manusia). 2. Human Dignity (Menghormati
dan menjunjung tinggi martabat manusia serta mengakui hak setiap pribadi untuk
menilai). Secara lengkap kode etik (Code of Ethics) dan kode perilaku (Code of
Conduct) yang dikeluarkan oleh International Public Relations Associations
(IPRA), dalam Sidang Umumnya di Venesia, Mei 1961, yaitu sebagai berikut: I.
Integritas Pribadi dan Profesional 1. Diterima bahwa integritas pribadi berarti
bahwa terpeliharanya standar moral yang tinggi maupun reputasi yang baik.
Sedangkan integritas profesional berarti ketaatan pada anggaran dasar,
peraturan, khususnya kode etik tersebut, sebagaimana 56 disetujui oeh IPRA. II.
Perilaku terhadap Klien dan Pimpinan 1. Seorang anggota mempunyai kewajiban
umum berhubungan secara jujur dan adil atau pimpinannya, baik sebelumnya maupun
sesudahnya 2. Seorang anggota hendaknya tidak mewakili kepentingan yang
berlawanan atau persaingan tanpa persetujuan dari pihak yang bersangkutan 3.
Seorang anggota hendaknya menjaga kepercayaan yang diberikan oleh klien atau
pimpinan, baik sebelumnya maupun yang sekarang 4. Seorang anggota hendaknya
tidak melakukan tindakan yang cenderung merendahkan martabat pihak klien atau
pimpinannya. 5. Dalam pemberian jasa pelayanan bagi klien atau pimpinannya,
seorang anggota hendaknya tidak menerima imbalan, komisi, atau bentuk apa pun
dari pihak mana pun, selain pihak klien atau pimpinannya yang telah memperoleh
penjelasan fakta yang lebih lengkap 6. Seorang anggota hendaknya tidak
mengusulkan kepada calon klien atau calon pimpinannya bahwa pembayaran atau
kompensasi lainnya tergantung pada pencapaian hasil-hasil tertentu, atau tidak
menyetujui perjanjian apa pun yang 57 mengarahkan dengan akibat yang sama. III.
Perilaku terhadap Publik dan Media Massa 1. Seorang anggota hendaknya melakukan
kegiatan profesionalnya sejalan dengan kepentingan public dan dengan penuh
hormat demi menjaga martabat baik anggota masyarakat 2. Seorang anggota
hendaknya tidak melakukan kegiatan dalam praktik apa pun yang dapat merusak
integritas saluran komunikasi massa 3. Seorang anggota hendaknya tidak
menyebarluaskan dengan sengaja informasi palsu dan dapat menyesatkan masyarakat
4. Seorang anggota hendaknya di setiap waktu berusaha memberikan gambaran
seimbang dan terpercaya terhadap kepentingan organisasi yang dilayaninya 5.
Seorang anggota hendaknya tidak membentuk organisasi apa pun untuk tujuan
tertentu selain untuk kepentingan pribadu dari pihak kliennya atau pimpinannya.
Demikian juga hendaknya tidak memanfaatkan organisasi demi tujuan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan demi kepentingan pribadi IV. Perilaku terhadap
Rekan Seprofesi 1. Seorang anggota hendaknya tidak dengan sengaja mencemarkan
reputasi atau tindakan rekan seprofesi lainnya. Namun, jika memiliki bukti
bahwa anggota lain telah melakukan kesalahan yang tidak etis, melanggar hukum,
atau 58 tidak jujur melanggar kode etik, hendaknya menyampaikan informasi
tersebut ke Dewan IPRA. 2. Seorang anggota hendaknya tidak berupaya mendesak
klien atau pimpinannya untuk menggantikan rekan seprofesinya 3. Seorang anggota
hendaknya bekerja sama dengan anggota lainnya dalam menegakkan dan melaksanakan
kode etik PR ini
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
TEKNIK
PENELITIAN
a.
Wawancara
Pelaksanaaan audit memerlukan berbagai
bentuk teknik komunikasi audit. Bentuk komunikasai yang akan dibahas dalam
resume ini adalah teknik wawancara. Wawancara merupakan proses interaksi yang
dilakukan secara lisan dengan menggunakan metode tanya jawab yang mempunyai
tujuan. Selain kegiatan audit seperti observasi dengan menggunakan metode tanya
jawab yang mempunyai tujuan. wawancara juga selalu digunakan oleh auditor untuk
memeroleh data ataupun fakta yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Wawancara
merupakan alat yang sangat baik untuk memeroleh informasi, pendapat, keyakinan,
perasaan, motivasi, masa depan ataupun tanggapan seseorang mengenai sesuatu
hal. Wawancara juga berguna untuk menangkap aksi, reaksi seseorang dalam
membentuk gerak-gerik dan ekspresi seseorang dalam pembicaraan sewaktu tanya
jawab sedang berlangsung. Untuk itu auditor perlu mampu membaca reaksi yang
timbul dari auditan sehingga dapat turut membantu pencarian informasi yang akan
diperoleh. Selanjutnya
dalam proses wawancara selalu ada 2 (dua) pihak yang masing-masing mempunyai
kedudukan yang berlainan, pihak yang satu dalam kedudukan.
b.
Fungsi Wawancara
Dalam
penelitian, wawancara memiliki
fungsi sebagai berikut:
1.
Sebagai metode primer.
Apabila wawancara dijadikan satu-satunya alat pengumpul data atau metode utama
dalam serangkaian metode pengumpulan data lainnya, maka metode wawancara
memiliki ciri sebagai metode primer.
2.
Sebagai metode
pelengkap. Apabila wawancara digunakan sebagai alat untuk mencari informasi
yang dapat diperoleh dengan cara lain, maka ia akan berfungsi sebagai metode
pelengkap.
3.
Sebagai kriterium.
Apabila wawancara digunakan orang untuk tujuan menguji kebenaran dan kemantapan suatu yang telah diperoleh dengan
cara lain, seperti: observasi, daftar pertanyaan, pengujian, maka ia akan
berfungsi sebagai kriterium.
berlainan,
pihak yang satu dalam kedudukan
c.
Waktu
dan Loksi Penelitian
Objek
dalam penelitian ini adalah BPJS
Ketenagakerjaan Kanwil Banten. Penelitian ini
dilaksanakan pada tanggal 28 Mei 2015
di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Kanwil
Banten yang beralamat di Jl. A. Yani No 108 Kota Serang
Banten 42118.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
KESIMPULAN
Dari
hasil wawancara sudah
dapat menjawab rumusan masalah diawal. Pertama mengenai penerapan etika profesi
humas pada BPJS Ketenagakerjaan, dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa
BPJS ketenagakerjaan cabang Banten sudah menerapkan etika profesi humas untuk
pegawai bagian humasnya. Yang kedua mengenai ketaatan bagian kehumasan pada kode
etik yang berlaku, menurut hasil wawancara sebagian karyawan sudah mentaati
kode etik kehumasan yang berlaku, dan yang terakhir membahas rumusan masalah
yang ketiga mengenai ada atau tidaknya sanksi bagi pegawai yang melanggar kode
etik yang berlaku, dan dari hasil wawancara menjelaskan bahwa terdapat sanksi
untuk setiap pelanggaran pada kode etik bagian kehumasan, dan untuk bentuk
sanksi disesuaikan dengan jenis pelanggaran yang dilakukan.
Adapun kesalahan-kesalahan kecil yang dilanggar oleh karyawan dalam perusahaan
BPJS Ketenagakerjaan tidak terlalu besar resiko nya pada perusahaan sehingga
tidak dikenakan sanksiyang terlalu berat atau sampai terjadinya pemberhentian
kerja pada karyawan yang melanggar aturan etika profesi humas
Pegawai bagian
humas merupakan jembatan antara perusahaan dan masyarakat, dengan adanya
pegawai kehumasan masyarakat mempunyai sarana untuk mengetahui apa saja yang
terdapat dalam perusahaan tersebut, tanggung jawab humas adalah membuat citra
perusahaan terlihat baik dimata masyarakat, hal ini bukan merupakan hal yang
mudah. Oleh karenanya dibuatlah etika profesi humas untuk membuat pegawai
bagian kehumasan mengerti apa saja sikap dan etika yang harus dimiliki seorang
pegawai kehumasan. Selain itu kode etik bagian kehumasan memiliki keterikatan
yang cukup kuat bagi karyawannya, hal ini ditunjukan oleh sebagian besar
perusahaan yang memberikan sanksi bagi pegawai bagian kehumasan yang melanggar
ekode etik yang sudan di tetapkan.
bagian Humas BPJS Ketenagakerjaan, dapat disimpulkan
bahwa etika profesi humas sudah diterapkan di BPJS Ketenagakerjaan, dan
merupakan salah satu hal yang harus dipatuhi oleh pegawai bagian kehumasannya.
Hal ini ditunjukan dengan adanya sanksi tegas yang diberikan perusahaan pada
pegawai yang melanggar kode etik yang sudah ditetapkan tersebut.
B. SARAN
Saran
saya sebagai penulis mengenai etika profesi humas yang berlaku diperusahaan
adalah membuat kode etik perusahaan lebih mudah diingat oleh pegawai dengan
cara membuat daftar kode etik pegawai bagian kehumasan ditempat – tempat yang
mudah terlihat, hal ini untuk memudahkan pegawai mengingat apa saja kode etik
yang harus dipatuhi mengingat seorang pegawai bagian kehumasan memiliki tangung
jawab yang besar untuk membuat citra perusahaan baik, sehingga seorang humas
dituntut untuk selalu professional, dan etika profesi humas akan membantu
tumbuhnya profesionalitas dalam diri pegawai jika diterapkan terus menerus.
LAMPIRAN
Wawancara Humas BPJS Kantor Wilayah Banten
NARASUMBER
Nama : Hendra Elvian
Unit Kerja : BPJSTK Kanwil
Banten
Jabatan : Penata Utama Manajemen Resiko & PIC Kehumasan
Saya : Assalamualaikum pak?
Narasumber : Walaikumsalam ada yang bisa saya bantu?
Saya : Saya Iqbal Mahasiswa Untirta
Ingin sedikit mewawancarai mengenai penerapan Etika Profesi Humas disini
Narasumber : Iya silahkan
Saya : Seorang Humas menumbuhkan dan
mengembangkan hubungan baik dengan lembaga ataupun masyarakat, apakah humas
BPJS Ketenagakerjaan menerapkan etika profesi humas
Narasumber : Untuk etika kehumasan disini diterapkan,
saya sendiri seagai humas mematuhi Etika profesi humas tersebut
Saya : Aturan apa saja yang dibuat
untukkaryawan yang berkaitan dengan Etika
Narasumber : Ada
Saya : Apakah Ada peraturan khusus Untuk
karyawan ?
Narasumber :
Untuk peraturan khusus tidak ada
Saya : Apakah di BPJS Ketenagakerjaan
pernah ada karyawan yang melanggar tentang kode Etik Kehumasan?
Narasumber : Ada, tapi untuk hal-hal semacam itu
biasanya bisa dikatakan wajar jika tidak mengakibatkan dampak yang tidak
terlalu merugikan perusahaan
Saya : Apakah ada konsekuensi untuk
Karyawan yang melakukan pelanggaran kode Etik?
Narasumber : Ada, sebab itu sangat penting sekali diterapkan
diperusahaan manapun
Saya : Jika ada apakah konsekuensinya
Narasumber : Tergantung pelanggaran yang dilakukanya
Saya : Jika pelanggaranya apa konsekuensi yang akan diberikan?
Narasumber : Jika pelanggaran nya kecil palingan hanya
surat peringatan
Saya : Jika pelanggaranya beresiko,
sanksi apa yang akan diberikan ?
Narasumber : Jika pelanggaran yang dilakukan lumayan
beresiko pada perusahaan dia akan mengalami penundaan kenaikan karirnya ataupun
bisa diberhentikan dari perusahaan
Saya : Baik pak terima ksih atas untuk
wawancaranya mungkin cukup
Narasumber : Iyah sama-sama
0 komentar:
Posting Komentar