Selasa, 06 Desember 2016

Analisa Etika Profesi Humas BPJSTK Kanwil Banten

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Aktifitas atau kegiatan profesi humas (public relations profesional) yang berkaitan dengan fungsi dan peran kehumasan tersebut tidak terlepas dari etika kehumasan sebagai patokan atau rambu-rambu yang yang paling penting dan paling mendasar, serta harus ditaati dan dipatuhi oleh setiap praktisi humas (public relations practioner). biasanya hal tersebut dituangkan ke dalam bentuk pasal-pasal yang formal dan normatif, yaitu berisikan kode prilaku dan kode etik sebagai pedoman moral atau acuan yang mengikat bagi setiap insan penyandang profesi humas yang disebut kode etik profesi humas. dan aplikasi yang mengacu pada nilai-nilai moral, etis, etika kode prilaku (code of conduct), serta nilai filosofis, norma, serta sanksi pelanggaran yang terjadi dan dituangkan dalam bentuk kode etik profesi humas.
Etika mendorong dan mengajak setiap individu untuk bersikap kritis dan rasional dalam mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri yang dapat dipertanggung jawabkan (bersifat otonom). Dalam hal ini tidak ada campur tangan dari individu yang lain karena secara sadar setiap inividu berusaha untuk memutuskan berdasarkan pendapatnya sendiri. Etika terungkap dari perilaku moral dalam situasi tertentu. Peran etika dalam kehidupan pribadi dan praktisi sendiri juga sama pentingnya.
            Etika profesional adalah tindakan seseorang dirancang untuk menciptakan kebaikan yang paling tinggi baik bagi klien maupun bagi komunitas secara keseluruhan, bukan untuk meningkatkan posisi dan kekuasaan praktisi. Perilaku profesional di dasarkan pada apa yang secara umum di anggap sebagai motif yang luhur, yang di pantau dan di ukur berdasarkan kode perilaku yang berlaku dan di laksanakan melalui interpretasi kongkrit bagi mereka yang menyimpang dari standar kinerja yang telah di terima. Kode perilaku profesional di tujukan untuk menentukan norma perilaku yang dapat di terima bagi para karyawan dan profesional dalam berkarya.
Hubungan klien dalam hal ini adalah media dengan profesional merupakan sebuah hubungan kepercayaan, hubungan kepercayaan ini berbeda dengan hubungan dengan pelayan ketrampilan. Etika profesi merupakan norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah, ukuran-ukuran yang diterima dan di taati oleh para pegawai atau karyawan, berupa peraturan-peraturan, tatanan yang di taati semua karyawan dari organisasi tertentu, yang telah di ketahuinya untuk di laksanakan, karena hal tersebut melekat pada status atau jabatannya. Dalam kata lain etika profesi adalah kebiasaan yang baik atau peraturan yang diterima dan ditaati oleh para karyawan dan telah mengendap menjadi bersifat normatif.
Sebagian besar organisasi profesional dan banyak perusahaan bisnis lainnya mempunyai kode etik. Dalam setiap profesi tersebut pasti memiliki kode etik yang berbeda. Dalam usaha mencanangkan patokan dari perilaku bertanggung jawab, mereka harus menegakkan kode etik yang merupakan dasar bagi profesionalisme sesuai dengan pernyataan mereka dengan pertimbangannya adalah kredibilitas. Etika profesi sangat penting terutama dalam rangka untuk pembinaan karyawan, untuk meningkatkan mutu serta mewujudkan pribadi karyawan yang jujur, bersih, berwibawa, semakin mempunyai rasa memiliki organisasi, tanggung jawab, dalam keterlibatannya untuk mengembangkan organisasinya, rasa ikut memilikinya besar.
 Etika profesi dapat membimbing karyawan dalam menjalankan tugasnya sehingga mampu menyelesaikan tugas-tugasnya dengan seksama, etos kerja yang tinggi, dengan tanggung jawab, sehingga memperoleh hasil yang memuaskan. Selain itu etika profesi juga dapat memberi arah, petunjuk untuk membentuk kepribadian seseorang sesuai dengan profesinya kemudian hasil kerjanya dapat memuaskan publik yang dilayaninya.


B.     Rumusan Masalah
1.  Apakah etika profesi humas sudah diterapkan oleh BPJS Ketenagakerjaan
2.      Bagaimanakah ketaatan pegawai bagian Humas pada kode etik yang berlaku
3.      Adakah sanksi atau kebijakan untuk pegawai yang melanggar kode etik tersebut



B.     Tujuan penelitian
1.      Untuk mengetahui apakah etika profesi humas sudah di terapkan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
2.      Untuk mengetahui sejauh mana ketaatan pegawai bagian Humas pada kode etik yang berlaku
3.      Untuk mengetahui apa sajakah sanksi atau kebijakan untuk pegawai yang melanggar kode etik tersebut.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.     Deskripsi Perusahaan
            BPJS Ketenagakerjaan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan) merupakan program publik yang memberikan perlindungan bagi tenaga kerja untuk mengatasi risiko sosial ekonomi tertentu dan penyelenggaraannya menggunakan mekanisme asuransi sosial. Sebagai Lembaga Negara yang bergerak            dalam bidang asuransi sosial BPJS Ketenagakerjaan yang dahulu bernama PT Jamsostek (Persero) merupakan pelaksana undang-undang Jamninan sosial tenaga kerja.BPJS Ketenagakerjaan sebelumnya bernamaJamsostek (jaminan sosial tenagakerja), yang dikelolaoleh PT. Jamsostek (Persero), namun sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Jamsostek berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan sejak tangga l Januari 2014. BPJS Kesehatan  dahulu bernama Askes bersama BPJS Ketenagakerjaan merupakan program pemerintah dalam kesatuan JaminanKesehatanNasional (JKN) yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. Untuk BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1 Juli 2015.Direktur utama saat ini adalah Elvyn G. Masassya.

Sejarah Perusahaan
            Penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan kewajiban Negara - untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan Negara. Indonesia seperti halnya negara berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal Sejarah terbentuknya PT Jamsostek (Persero) mengalami proses yang panjang, dimulai dari UU No.33/1947 jo UU No.2/1951 tentang kecelakaan kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No.48/1952 jo PMP No.8/1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha penyelenggaraan kesehatan buruh, PMP No.15/1957 tentang pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No.5/1964 tentang pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS), diberlakukannya UU No.14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja. Secara kronologis proses lahirnya asuransi sosial tenaga kerja semakin transparan.Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan hukum, bentuk perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun 1977 diperoleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1977 tentang pelaksanaan program asuransi sosial tenaga kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha swasta dan BUMN untuk mengikuti program ASTEK. Terbit pula PP No.34/1977 tentang pembentukan wadah penyelenggara ASTEK yaitu Perum Astek.Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Dan melalui PP No.36/1995 ditetapkannya PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Program Jamsostek memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang, akibat risiko sosial. Selanjutnya pada akhir tahun 2004, Pemerintah juga menerbitkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undang-undang itu berhubungan dengan Amandemen UUD 1945 tentang perubahan pasal 34 ayat 2, yang kini berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan". Manfaat perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatkan motivasi maupunproduktivitas kerja. Kiprah Perusahaan PT Jamsostek (Persero) yang mengedepankan kepentingan dan hak normatif Tenaga Kerja di Indonesia dengan memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya terus berlanjutnya hingga berlakunya UU No 24 Tahun 2011. Tahun 2011, ditetapkanlah UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Sesuai dengan amanat undang-undang, tanggal 1 Januri 2014 PT Jamsostek akan berubah menjadi Badan Hukum Publik. PT Jamsostek (Persero) yang bertransformsi menjadi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Ketenagakerjaan tetap dipercaya untuk menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja, yang meliputi JKK, JKM, JHT dengan penambahan Jaminan Pensiun mulai 1 Juli 2015.Menyadari besar dan mulianya tanggung jawab tersebut, BPJS Ketenagakerjaan pun terus meningkatkan kompetensi di seluruh lini pelayanan sambil mengembangkan berbagai program dan manfaat yang langsung dapat dinikmati oleh pekerja dan keluarganya. Kini dengan sistem penyelenggaraan yang semakin maju, program BPJS Ketenagakerjaan tidak hanya memberikan manfaat kepada pekerja dan pengusaha saja, tetapi juga memberikan kontribusi penting bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi bangsa dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

B.     Teori Komunikasi
            Dalam kaitannya kegiatan komunikasi, public relations menjalankan komunikasi dengan tujuan untuk menciptakan sebuah efek, yaitu berupa citra perusahaan (corporate image). Menyelenggarakan komunikasi untuk membentuk citra korporasi atau organisasi di mata pihak luar dimaksudkan untuk menumbuhkan saling pengertian di antara korporasi atau organisasi dan pihak luar itu. Bagi korporasi, pihak luar yang dimaksudkan adalah masyarakat, baik sebagai konsumen, pemasok, agen, atau rekanan korporasi. Saling pengertian antara korporasi atau organisasi dan masyarakat, berkembang melalui hubungan baik antara keduanya. Adapun hubungan baik ini terjadi apabila terselenggara komunikasi yang baik pula (public relationship). Dari situlah terbentuk citra korporasi atau organisasi (corporate image) di mata pihak luar. (Siregar, 2000:42) Hal ini tentunya sesuai dengan definisi PR berdasarkan tujuan kegiatannya, yang dirumuskan oleh seorang praktisi Public Relations, Dr. Carter McNamara (Iriantara, 2005:9) yaitu humas sebagai aktivitas berkelanjutan untuk menjamin perusahaan memiliki citra yang kuat di mata publik. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya PR merupakan proses komunikasi kepada publik untuk menjalin relasi yang baik sehingga tercapai tujuan untuk membangun, membina, dan menjaga citra yang positif atau reputasi baik. Definisi yang serupa juga dituliskan pada kamus IPR terbitan bulan November 1987 yang mendefinisikan praktek humas atau PR adalah keseluruhan upaya yang dilangsungkan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka menciptakan dan memelihara niat baik dan saling pengertian antara suatu organisasi dengan segenap khalayaknya. (Jefkins, 1998:17)
Pengertian Hubungan Masyarakat  (humas) menurut  “The International Public Relations Associations (IPRA)”, Hubungan masyarakat adalah fungsi manajemen dari sikap budi yang berencana dan berkesinambungan, yang dengan itu organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga yang bersifat umum dan pribadi berupaya membina pengertian, simpati dan dukungan dari mereka yang ada kaitannya atau yang mungkin ada hubungannya dengan jalan menilai pendapat umum diantara mereka, untuk mengkorelasikan, sedapat mungkin kebijaksanaan dan tata cara mereka, yang dengan informasi yang berencana dan tersebar luas, mencapai kerja sama yang lebih produktif dan pemenuhan kepentingan bersama yang lebih efisien.
Sedangkan menurut W. Emerson Reck , humas adalah kelajutan dari proses penetapan kebijaksanaan, penetuan pelayanan dan sikap disesuaikan dengan kepentingan orang-orang atau golongan agar orang atau lembaga itu memperoleh kepercayaan dan itikad baik dari mereka. Kedua, pelaksanaan kebijaksanaan, pelayanan dan sikap adalah untuk menjami adanya pengertian dan penghargaan yang sebaik-baiknya.
Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral. Manusia disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk didalamnya membahas nilai-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika (Keraf, 1991 : 23).
Kata etiket adalah berkaitan dengan nilai sopan santun, tata krama dalam pergaulan formal. Persamaannya adalah mengenai perilaku manusia secara normatif yang etis. Artinya memberikan pedoman atau norma-norma tertentu yaitu bagaimana seharusnya seseorang itu melakukan perbuatan dan tidak melakukan perbuatan dan tidak melakukan sesuatu perbuatan.
Pengertian etiket menurut pendapat ahli yaitu merupakankumpulan tata cara dan sikap baik dalam pergaulan antar manusia yang beradab. Pendapat lain berkaitan dengan etiket adalah tata aturan sopan santun yang disetujui oleh masyarakat tertentu dan menjadi norma serta panutan dalam bertingkah laku sebagai anggota masyarakat yang baik dan menyenangkan.

C.    KODE ETIK PROFESI HUMAS
 Howard Stephenson dalam bukunya Hand Book of Public Relations (1971) mengatakan bahwa definisi profesi humas adalah “The practice of skilled art or service based on training, a body of knowledge, adherence to agree on standard of ethics.” Artinya, kegiatan humas atau public relations merupakan profesi secara praktis memiliki seni keterampilan atau pelayanan tertentu yang berlandaskan latihan, kemampuan, dan pengetahuan serta diakui sesuai dengan standar etikanya. Setiap penyandang profesi tertentu harus dan bahkan mutlak mempunyai kode etik sebagai acuan bagi perilaku dalam pelaksanaan peran (role) dan fungsi (function) profesinya masing-masing kode etik bersifat mengikat, baik secara normatif dan etis, maupun sebagai tanggung jawab dan kewajiban moral bagi para anggota profesi bersangkutan dalam menjalankan aktivitas kehidupannya di masyarakat. Pemahaman tentang pengertian kode etik, etik profesi dan etika kehumasan serta aspek-aspek hukum dalam aktivitas komunikasi penting bagi praktisi atau profesional PR/Humas dalam melaksanakan peran dan fungsinya untuk menciptakan citra baik bagi dirinya (good performance image) sebagai penyandang profesional PR/Humas dan citra baik bagi suatu lembaga atau organisasi (good corporate image) yang diwakilinya. 49 Menurut G. Sachs dalam bukunya The Extent and Intention of PR and Information Activities terdapat tiga konsep penting dalam etika kehumasan sebagai berikut: 1. The Image, the knowledge about us and the attitudes toward us the our different interest groups have. (Citra adalah pengetahuan mengenai kita dan sikap terhadap kita yang mempunyai kelompok-kelompok dalam kepentingan yang saling berbeda). 2. The Profile, the knowledge about an attitude towards, we want our various interest group to have. (Penampilan merupakan pengetahuan mengenai suatu sikap terhadap yang kita inginkan untuk dimiliki kelompok kepentingan kita yang beragam). 3. The Ethics is branch of philosophy, it is a moral philosophy or philosophical thinking about morality. Often used as equivalent ti right or good. (Etika merupakan cabang dari ilmu filsafat, merupakan filsafat moral atau pemikiran filosofis tentang moralitas, biasanya selalu berkaitan dengan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan). Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu pengertian secara umum bahwa citra adalah cara masyarakat memberikan kesan baik atau buruk terhadap, diri kita. Penampilan selalu berorientasi ke depan mengenai bagaimana sebenarnya harapan tentang keadaan diri kita, 50 sedangkan bahasan etika merupakan acuan bagi kode perilaku moral yang baik dan tepat dalam menjalankan profesi kehumasan. Pada tahun 1965, dalam pertemuan Asosiasi Humas Internasional (IPRA) di Athena, Yunani telah diterbitkan Code of Athens atau International Code of Ethics untuk mempertegas kode perilaku praktisi humas dari kode etik IPRA (IPRA Code of Conduct), dan pada November 1991, selain kode etik IPRA juga. ditetapkan IPRA Nairobi Code For Communication On Environment and Development. Perkembangan selanjutnya, kode etik IPRA tersebut telah memberikan inspirasi agar dapat diratifikasi ke berbagai organisasi profesi PR/Humas di seluruh dunia. Organisasi humas di Indonesia pun mengadopsinya, misalnya organisasi profesi Perhumas (Perhimpunan Humas Indonesia) yang didirikan pada tanggal 15 Desember 1972. Pada peristiwa Konvensi Nasional Humas di Bandung pada akhir tahun 1993 telah diterbitkan “Kode Etik Kehumasan Indonesia” (KEKI) yang isi atau materi dari bab ke bab pasal kode etiknya tidak jauh berbeda dengan pedoman moral kode etik IPRA. Kode Etik IPRA (International Public Relations Association) yang telah diperbarui di Teheran, Iran pada tanggal 17 April 1968, secara normatif dan etis memuat butir-butir terdiri dari satu mukadimah dan berisikan 13 pasal. Secara garis besar kode etik IPRA mencakup butirbutir pokok sebagai Standard Moral of Public Relations sebagai berikut: 1. kode perilaku; 51 2. kode moral; 3. menjunjung tinggi standar moral; 4. memiliki kejujuran yang tinggi; 5. mengatur secara etis mana yang boleh diperbuat dan tidak boleh diperbuat oleh Profesional PR/Humas. Pedoman standar moral dari Kode etik IPRA tersebut di atas sebenarnya cukup sederhana dan hanya berisikan pasal-pasal pokok yang memiliki fleksibilitas tinggi dan mudah untuk diratifikasi ke dalam kode etik masing-masing organisasi profesi kehumasan di setiap negara yang telah menjadi anggota Organisasi Profesi Humas Internasional (IPRA) sekaligus sebagai negara anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Jika dari lima point garis besar pedoman standar moral Kode Etik IPRA (Code of Conduct) tersebut ditarik intinya, maka point nomor 1, 2, dan 3 mengatur kode perilaku dan moral seseorang sebagai penyandang profesional PR/Humas. Point nomor 4 menunjukkan adanya integritas kepercayaan dan tanggung jawab pribadi profesional Humas/PR yang tinggi. Sementara itu, point nomor 5 berkaitan dengan suatu kebolehan (mogen) dan larangan (verbod) terhadap suatu tindakan tertentu yang seharusnya atau tidak dilakukan oleh profesi kehumasan berdasarkan pertimbangan moral, baik dilihat secara etis, etika profesi dan moral, maupun peraturan normatif yang harus dipatuhi dan ditaati oleh yang bersangkutan. 52 Dengan demikian, tidak heran jika kode etik PR/Humas tersebut merupakan "Standar Moral atau Piagam Moral," yang memuat prinsip-prinsip dasar atau rambu-rambu dan patokan kode perilaku (code of conduct) baik individual sebagai penyandang Profesi PR/Humas (PRO by Profession), maupun dilihat dari fungsi atau peranan PR/Humas dalam suatu organisasi (PR by Function). Artinya, pertama kode etik PR/Humas menjadi pedoman etis bagi pelaku (subjek) yang terlibat dalam menjalankan profesi kehumasan yang menjadi pilihan hidupnya. Kedua, ditujukan dalam proses pelaksanaan fungsi kehumasan, pengambilan keputusan, serta kebijakan yang memiliki kewajiban, tanggung jawab, dan kewewenangannya dalam struktur atau proses manajemen organisasi dengan memiliki kualifikasi tertentu, teknis pekerjaan (job specification technic) dan jabaran kerja (Job description) yang jelas, terbuka, profesional, dan proporsional untuk berkerja sama dengan bagian terkait lainnya secara koordinatif. Saat ini beberapa organisasi kehumasan di Indonesia sudah membentuk Kode Etik Kehumasan (KEKI) untuk kalangan profesi PR/Humas, baik untuk organisasi Humas Kedinasan Departemen Pemerintah yang dikenal dengan nama Bakohumas (Badan Koordinasi Kehumasan Pemerintah) maupun untuk kalangan nonpemerintah, seperti organisasi profesi Perhumas (Perhimpunan Humas Indonesia), APPRI (Asosiasi jasa Konsultan Humas), H-3 53 (Himpunan Humas Hotel), kalangan profesional PR perhotelan berbintang, dan Forkomas (Forum Komunikasi Humas) Perbankan. Kemudian masing-masing organisasi tersebut telah memiliki Dewan Kehormatan, Dewan Pengawas, Pengurus Pusat dan Daerah, serta para anggota organisasi profesi yang tersebar luas di berbagai organisasi atau lembaga di pusat dan daerah. Kalau diperhatikan perkembangannya sejak paskakemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga pada era pemerintahan reformasi, sampai saat ini KEKI dan organisasi profesi Humas Indonesia belum memiliki konsep akreditasi (sertifikasi profesional) atau kewewenangan organisasi profesi Humas/PR untuk menilai kualitas dan kualifikasi tingkat keprofesionalan kehumasan seseorang secara resmi dan diakui, khususnya dalam mengantisipasi persaingan global dan menghadapi AFTA 2003. Misalnya, organisasi IDI (Ikatan Dokter Indonesia) selama ini dapat memberikan penilaian layak atau tidaknya kualifikasi seorang dokter profesional dapat melakukan praktik umum (praktik privat). Organisasi PII (Persatuan Insinyur Indonesia) sebagai wadah bagi profesi "tukang insinyur" berwewenang memberikan akreditasi atas sertifikasi keinsinyurannya sehingga yang bersangkutan dapat mengubah gelar akademik ST (sarjana teknik) menjadi gelar profesi "Ir" di belakang nama seseorang yang dianggap telah berhak menyandang "gelar tukang insinyur" secara terus-menerus dan 54 diakui profesionalisme, kualifikasi, dan tingkat keahliannya, baik di tingkat nasional maupun internasional. Seperti halnya di Amerika Serikat, akreditasi (accreditation) kalangan profesional PR/Humas dilakukan oleh organisasi Humas PRSA (Public Relations Society of America) dan IABC (International Association of Business Communication) yang memiliki kewenangan pemberian lisensi atau sertifikasi resmi bagi kalangan praktisi dan profesional PR/Humas melalui ujian kualifikasi dan wawancara tertentu oleh tim khusus sebagai penilai dari organisasi tersebut sejak tahun 1991. Pihak praktisi yang telah lulus, mendapat penilaian tingkat keahlian atau profesional tertentu. Orang yang bersangkutan berhak memperoleh sertifikasi resmi serta dapat mencantumkan gelar profesional Humas "APR" (Accredited Public Relations) atau "ABC" (Accredited Business Communication) di belakang namanya. Di samping itu, secara aktif, selektif, dan terencana baik melaksanakan akreditasi penilaian tentang program pendidikan dan pelatihan PR yang berkelanjutan serta program akreditasi sertifikasi profesional dan pelayanan umum lainnya agar eksistensi profesi humas di masyarakat dapat dipertanggungjawabkan keberadaannya, dipercaya, dan diakui secara resmi. Organisasi Profesi Humas Internasional (IPRA) didirikan di London, Inggris pada tahun 1955 dan bermarkas di Jenewa, Swiss. 55 Organisasi tersebut telah memperoleh pengakuan atau berada di bawah naungan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang kini memiliki keanggotaan sedikitnya 77 negara di dunia. Perbandingan keanggotaannya yaitu dari Eropa 54 persen, Asia dan Australia 20 persen, Amerika Serikat 14 persen, dan Timor Tengah serta Afrika 12 persen. Landasan patokan utama dari etika profesi dan kode etik IPRA adalah berdasarkan prinsip-prinsip dasar PBB sebagai berikut: 1. The Universal Declaration of Human Right (Menghormati dalam pelaksanaan tugas profesinya dengan memperhatikan prinsip-prinsip moral dari deklarasi umum tentang hak-hak asasi manusia). 2. Human Dignity (Menghormati dan menjunjung tinggi martabat manusia serta mengakui hak setiap pribadi untuk menilai). Secara lengkap kode etik (Code of Ethics) dan kode perilaku (Code of Conduct) yang dikeluarkan oleh International Public Relations Associations (IPRA), dalam Sidang Umumnya di Venesia, Mei 1961, yaitu sebagai berikut: I. Integritas Pribadi dan Profesional 1. Diterima bahwa integritas pribadi berarti bahwa terpeliharanya standar moral yang tinggi maupun reputasi yang baik. Sedangkan integritas profesional berarti ketaatan pada anggaran dasar, peraturan, khususnya kode etik tersebut, sebagaimana 56 disetujui oeh IPRA. II. Perilaku terhadap Klien dan Pimpinan 1. Seorang anggota mempunyai kewajiban umum berhubungan secara jujur dan adil atau pimpinannya, baik sebelumnya maupun sesudahnya 2. Seorang anggota hendaknya tidak mewakili kepentingan yang berlawanan atau persaingan tanpa persetujuan dari pihak yang bersangkutan 3. Seorang anggota hendaknya menjaga kepercayaan yang diberikan oleh klien atau pimpinan, baik sebelumnya maupun yang sekarang 4. Seorang anggota hendaknya tidak melakukan tindakan yang cenderung merendahkan martabat pihak klien atau pimpinannya. 5. Dalam pemberian jasa pelayanan bagi klien atau pimpinannya, seorang anggota hendaknya tidak menerima imbalan, komisi, atau bentuk apa pun dari pihak mana pun, selain pihak klien atau pimpinannya yang telah memperoleh penjelasan fakta yang lebih lengkap 6. Seorang anggota hendaknya tidak mengusulkan kepada calon klien atau calon pimpinannya bahwa pembayaran atau kompensasi lainnya tergantung pada pencapaian hasil-hasil tertentu, atau tidak menyetujui perjanjian apa pun yang 57 mengarahkan dengan akibat yang sama. III. Perilaku terhadap Publik dan Media Massa 1. Seorang anggota hendaknya melakukan kegiatan profesionalnya sejalan dengan kepentingan public dan dengan penuh hormat demi menjaga martabat baik anggota masyarakat 2. Seorang anggota hendaknya tidak melakukan kegiatan dalam praktik apa pun yang dapat merusak integritas saluran komunikasi massa 3. Seorang anggota hendaknya tidak menyebarluaskan dengan sengaja informasi palsu dan dapat menyesatkan masyarakat 4. Seorang anggota hendaknya di setiap waktu berusaha memberikan gambaran seimbang dan terpercaya terhadap kepentingan organisasi yang dilayaninya 5. Seorang anggota hendaknya tidak membentuk organisasi apa pun untuk tujuan tertentu selain untuk kepentingan pribadu dari pihak kliennya atau pimpinannya. Demikian juga hendaknya tidak memanfaatkan organisasi demi tujuan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan demi kepentingan pribadi IV. Perilaku terhadap Rekan Seprofesi 1. Seorang anggota hendaknya tidak dengan sengaja mencemarkan reputasi atau tindakan rekan seprofesi lainnya. Namun, jika memiliki bukti bahwa anggota lain telah melakukan kesalahan yang tidak etis, melanggar hukum, atau 58 tidak jujur melanggar kode etik, hendaknya menyampaikan informasi tersebut ke Dewan IPRA. 2. Seorang anggota hendaknya tidak berupaya mendesak klien atau pimpinannya untuk menggantikan rekan seprofesinya 3. Seorang anggota hendaknya bekerja sama dengan anggota lainnya dalam menegakkan dan melaksanakan kode etik PR ini























BAB III
 METODOLOGI PENELITIAN

A.    TEKNIK PENELITIAN

a.      Wawancara
Pelaksanaaan audit memerlukan berbagai bentuk teknik komunikasi audit. Bentuk komunikasai yang akan dibahas dalam resume ini adalah teknik wawancara. Wawancara merupakan proses interaksi yang dilakukan secara lisan dengan menggunakan metode tanya jawab yang mempunyai tujuan. Selain kegiatan audit seperti observasi dengan menggunakan metode tanya jawab yang mempunyai tujuan. wawancara juga selalu digunakan oleh auditor untuk memeroleh data ataupun fakta yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Wawancara merupakan alat yang sangat baik untuk memeroleh informasi, pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi, masa depan ataupun tanggapan seseorang mengenai sesuatu hal. Wawancara juga berguna untuk menangkap aksi, reaksi seseorang dalam membentuk gerak-gerik dan ekspresi seseorang dalam pembicaraan sewaktu tanya jawab sedang berlangsung. Untuk itu auditor perlu mampu membaca reaksi yang timbul dari auditan sehingga dapat turut membantu pencarian informasi yang akan diperoleh.                                                                          Selanjutnya dalam proses wawancara selalu ada 2 (dua) pihak yang masing-masing mempunyai kedudukan yang berlainan, pihak yang satu dalam kedudukan.

b.       Fungsi Wawancara
Dalam penelitian, wawancara memiliki fungsi sebagai berikut:
1.                            Sebagai metode primer. Apabila wawancara dijadikan satu-satunya alat pengumpul data atau metode utama dalam serangkaian metode pengumpulan data lainnya, maka metode wawancara memiliki ciri sebagai metode primer.
2.                            Sebagai metode pelengkap. Apabila wawancara digunakan sebagai alat untuk mencari informasi yang dapat diperoleh dengan cara lain, maka ia akan berfungsi sebagai metode pelengkap.
3.                            Sebagai kriterium. Apabila wawancara digunakan orang untuk tujuan menguji kebenaran dan  kemantapan suatu yang telah diperoleh dengan cara lain, seperti: observasi, daftar pertanyaan, pengujian, maka ia akan berfungsi sebagai kriterium.
berlainan, pihak yang satu dalam kedudukan

c.       Waktu dan Loksi Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah BPJS Ketenagakerjaan Kanwil Banten. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 28 Mei 2015 di Kantor BPJS Ketenagakerjaan Kanwil Banten yang beralamat di Jl. A. Yani No 108  Kota Serang Banten 42118.

  



                                                BAB IV
                             KESIMPULAN DAN SARAN
  
A.                KESIMPULAN          
Dari hasil wawancara sudah dapat menjawab rumusan masalah diawal. Pertama mengenai penerapan etika profesi humas pada BPJS Ketenagakerjaan, dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa BPJS ketenagakerjaan cabang Banten sudah menerapkan etika profesi humas untuk pegawai bagian humasnya. Yang kedua mengenai ketaatan bagian kehumasan pada kode etik yang berlaku, menurut hasil wawancara sebagian karyawan sudah mentaati kode etik kehumasan yang berlaku, dan yang terakhir membahas rumusan masalah yang ketiga mengenai ada atau tidaknya sanksi bagi pegawai yang melanggar kode etik yang berlaku, dan dari hasil wawancara menjelaskan bahwa terdapat sanksi untuk setiap pelanggaran pada kode etik bagian kehumasan, dan untuk bentuk sanksi disesuaikan dengan jenis pelanggaran yang dilakukan. Adapun kesalahan-kesalahan kecil yang dilanggar oleh karyawan dalam perusahaan BPJS Ketenagakerjaan tidak terlalu besar resiko nya pada perusahaan sehingga tidak dikenakan sanksiyang terlalu berat atau sampai terjadinya pemberhentian kerja pada karyawan yang melanggar aturan etika profesi humas
               Pegawai bagian humas merupakan jembatan antara perusahaan dan masyarakat, dengan adanya pegawai kehumasan masyarakat mempunyai sarana untuk mengetahui apa saja yang terdapat dalam perusahaan tersebut, tanggung jawab humas adalah membuat citra perusahaan terlihat baik dimata masyarakat, hal ini bukan merupakan hal yang mudah. Oleh karenanya dibuatlah etika profesi humas untuk membuat pegawai bagian kehumasan mengerti apa saja sikap dan etika yang harus dimiliki seorang pegawai kehumasan. Selain itu kode etik bagian kehumasan memiliki keterikatan yang cukup kuat bagi karyawannya, hal ini ditunjukan oleh sebagian besar perusahaan yang memberikan sanksi bagi pegawai bagian kehumasan yang melanggar ekode etik yang sudan di tetapkan.
bagian Humas BPJS Ketenagakerjaan, dapat disimpulkan bahwa etika profesi humas sudah diterapkan di BPJS Ketenagakerjaan, dan merupakan salah satu hal yang harus dipatuhi oleh pegawai bagian kehumasannya. Hal ini ditunjukan dengan adanya sanksi tegas yang diberikan perusahaan pada pegawai yang melanggar kode etik yang sudah ditetapkan tersebut.


B.        SARAN
   Saran saya sebagai penulis mengenai etika profesi humas yang berlaku diperusahaan adalah membuat kode etik perusahaan lebih mudah diingat oleh pegawai dengan cara membuat daftar kode etik pegawai bagian kehumasan ditempat – tempat yang mudah terlihat, hal ini untuk memudahkan pegawai mengingat apa saja kode etik yang harus dipatuhi mengingat seorang pegawai bagian kehumasan memiliki tangung jawab yang besar untuk membuat citra perusahaan baik, sehingga seorang humas dituntut untuk selalu professional, dan etika profesi humas akan membantu tumbuhnya profesionalitas dalam diri pegawai jika diterapkan terus menerus.



  


LAMPIRAN

Wawancara Humas BPJS Kantor Wilayah Banten

NARASUMBER
Nama        :     Hendra Elvian
Unit Kerja :     BPJSTK Kanwil Banten
Jabatan      :     Penata Utama Manajemen Resiko & PIC Kehumasan

Saya                : Assalamualaikum pak?
Narasumber   : Walaikumsalam ada yang bisa saya bantu?

Saya                : Saya Iqbal Mahasiswa Untirta Ingin sedikit mewawancarai mengenai penerapan Etika Profesi Humas disini
Narasumber   : Iya silahkan

Saya                : Seorang Humas menumbuhkan dan mengembangkan hubungan baik dengan lembaga ataupun masyarakat, apakah humas BPJS Ketenagakerjaan menerapkan etika profesi humas
Narasumber   : Untuk etika kehumasan disini diterapkan, saya sendiri seagai humas mematuhi Etika profesi humas tersebut
Saya                : Aturan apa saja yang dibuat untukkaryawan yang berkaitan dengan Etika
Narasumber   : Ada
Saya                : Apakah Ada peraturan khusus Untuk karyawan ?
Narasumber   : Untuk peraturan khusus tidak ada
Saya                : Apakah di BPJS Ketenagakerjaan pernah ada karyawan yang melanggar tentang kode Etik Kehumasan?
Narasumber   : Ada, tapi untuk hal-hal semacam itu biasanya bisa dikatakan wajar jika tidak mengakibatkan dampak yang tidak terlalu merugikan perusahaan
Saya                : Apakah ada konsekuensi untuk Karyawan yang melakukan pelanggaran kode Etik?
Narasumber   : Ada, sebab itu sangat penting sekali diterapkan diperusahaan manapun
 Saya               : Jika ada apakah konsekuensinya
Narasumber   : Tergantung pelanggaran yang dilakukanya
Saya                : Jika pelanggaranya  apa konsekuensi yang akan diberikan?
Narasumber   : Jika pelanggaran nya kecil palingan hanya surat peringatan
Saya                : Jika pelanggaranya beresiko, sanksi apa yang akan diberikan ?
Narasumber   : Jika pelanggaran yang dilakukan lumayan beresiko pada perusahaan dia akan mengalami penundaan kenaikan karirnya ataupun bisa diberhentikan dari perusahaan
Saya                : Baik pak terima ksih atas untuk wawancaranya mungkin cukup

Narasumber   : Iyah sama-sama

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2016. Ngerjain Tugas Yuk... . All Rights Reserved
Home | Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Site map
Design by Nugas Melulu . Published by White Simple