KATA
PENGANTAR
KATA PENGANTAR
…………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………ii
BAB I :
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang …………………………….………………………… 1
I.2 Rumusan Masalah ……………………….………………………….. 2
I.3 Tujuan Makalah …………………………….………………………. 2
I.4 Manfaat Makalah …………………………….……………………... 3
BAB 2 : Pendidikan
Islam Tranformatif vs. Konvensional; Sebuah Pemetaan Awal
2.1 Pengertian
atau Istilah Pendidikan …………………………………. 4
2.2 Pendidikan Tranformatif dan Pedagogi Kritis ……………………… 5
2.3 Kearah Pendidikan Islam Transformatif …………………………… 11
BAB 3 : Penutup
3.1 Kesimpulan
………………………………………………………… 20
3.2 Saran ………………………………………………………………..
21
Daftar Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Inti dari cita-cita
pendidikan, terutama pendidikan agama Islam adalah terbentuknya manusia yang
beriman, cerdas, kreatif, dan memiliki keluhuran budhi. Tugas utama pendidikan
adalah upaya secara sadar untuk mengantarkan manusia pada cita-cita tersebut,
dan pendidikan Islam juga memiliki fungsi mengarahkan kehidupan dan
keberagamaan manusia kearah kehidupan Islami yang ideal.[1] Jika upaya
pendidikan mengalami kegagalan dalam mengantarkan manusia kearah cita-cita
manusiawi yang bersandar pada nilai-nilai ke-Tuhanan, maka yang akan terjadi
adalah tumbuhnya prilaku-prilaku negatif dan destruktif, seperti kekerasan,
radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme, juga ketidakpedulian sosial, yang
semuanya itu mengakibatkan penderitaan semesta.
Berbagai
prilaku-prilaku destruktif tersebut, yang sering muncul dinegara Indonesia,
merupakan akibat dari belum munculnya pribadi-pribadi cerdas, kreatif, dan
berbudi luhur. Orang yang cerdas selalu menggunakan daya nalar manusiawinya
secara benar dan obyektif dalam melihat realitas sosial. Orang yang kreatif,
mempunyai pilihan-pilihan dalam memenuhi dan menjawab persoalan-persoalan
hidupnya. Orang yang ‘Arif (seakar kata dengan ‘Urf, tradisi) dan
luhur budi (dalam bahasa agamanya al-Akhlâq al-Karîm), mampu menentukan
pilihan yang paling tepat dan selalu menolak cara-cara kekerasan dalam
mensikapi berbagai dilemma kehidupan. Kecerdasan dan kearifan yang bersumber
pada daya kritis atas nilai diri dan sosial, sehingga mampu memberikan sinaran
yang selalu tumbuh terhadap kepedulian pada sesame.[2]
Dalam konteks inilah,
pendidikan agama Islam sebagai salah satu media penyadaran umat, dihadapkan
pada problem begaimana mengembangkan sebuah pola pendidikan yang
transformative, sebuah pola pendidikan yang mampu memberikan pemahaman dan
transformasi pembelajaran yang tidak saja bertumpu pada transfer pengetahuan
saja, tetapi juga transef nilai. Pendidikan transformative juga megasikan akan
pola pembelajaran yang hanya berpusat pada guru (teacher centerd),
tetapi lebih pada pola pembelajaran yang memberikan “ruang” bagi peserta didik
untuk lebih mengaktualisasikan potensi akademisnya secara maksimal.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
pengertian dari model pembelajaran transformatif pendidikan agama
islam?
2.
Apa
peran dan fungsi dari Pembelajaran Transformatif?
3.
Bagaimana
cara kerja dari Pembelajaran Transformatif?
4.
Apa
saja yang diperlukan dalam memilih Pembelajaran Transformatif?
5.
Bagaimana
cara daftar Pembelajaran Transformatif?
6.
Sebutkan
contoh-contoh dari Pembelajaran Transformatif?
7.
Jelaskan
perbandingan dari kelebihan dan kekurangan dari contoh-contoh Pembelajaran
Transformatif berikut?
1.3
TUJUAN MAKALAH
a. Untuk lebih mempelajari mengenai
pentingnya model pembelajaran transformatif pendidikan agama islam.
b. Untuk membekalkan diri dengan
ilmu-ilmu pendidikan yang didasarkan dengan agama islam.
c.
Untuk
sekaligus mempelajari sistematika dalam pembuatan makalah yang berjudul makalah
model pembelajaran transformative pendidikan agama islam.
d.
Untuk
mengartikan akan pentingnya mempelajari paradigma islam
mengenai model pembelajaran transformatif.
1.4
MANFAAT MAKALAH
a.
Untuk
menjadikan pemuda untuk mengenal
kemajuan pendidikan agama islam.
b.
Untuk
memberikan rincian mengenai model Pembelajaran Transformatif PAI.
c.
Untuk
memberitahukan bagaimana cara pembelajaran transformatif dengan baik.
d.
Untuk
mengetahui contoh-contoh model pembelajaran PAI.
BAB II
Pendidikan Islam
Tranformatif vs. Konvensional
‘Sebuah
Pemetaan Awal’
2.1 Pengertian
atau Istilah Pendidikan
Istilah
pendidikan Islam konvensional dipakai untuk menunjukkan pola dan praktek
pendidikan yang berjalan secara monoton, top-down, guruisme,
sentralistik, uniform, eksklusif, formalis, dan indoktrinatif. Praktek
pendidikan tersebut dianggap tidak mampu menjawab tantangan zaman dan terkesan
menjadikan pendidikan Islam anti realitas. Bahkan, ada anggapan bahwa pola
semacam inilah yang menjadikan dan membentuk perilaku masyarakat Islam
eksklusif dan gagap terhadap perubahan dan perbedaan. Karena itu, pendidikan
Islam transformatif, sebuah istilah tentatif sebagai counternarrative dari PIK,
perlu dimunculkan sebagai pembanding dan teman dialog untuk ‘menghidupkan dan
membumikan’ pendidikan Islam dalam konteks hereness dan nowness. Istilah
transformasi itu sendiri seringkali dimunculkan oleh Lyotard ketika membahas
wacana posmodernisme sebagai lawan dari modernisme. Posmodernisme merupakan
kondisi budaya yang memunculkan banyak transformasi yang mengubah rule of
the game dalam bidang sains, sastra, dan seni. Di bidang pendidikan,
transformasi berupa perubahan aturan main dalam hal aspek, praktek, dan
institusi pendidikan yang bertanggung jawab dan mentransmisikan ilmu
pengetahuan dan seni.[3]
Dengan
menggunakan kerangka semacam ini, bagaimana pola pendidikan Islam mampu
melakukan transformasi dari praktek pendidikan yang telah ada menuju kondisi
yang lebih baik, mulai dari aspek konseptualisasi hingga implementasi, seperti
kelembagaan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan penyediaan SDM.
Pendidikan
islam tranfromatif mengharuskan adanya perubahan cara pandang terhadap proses
pendidikan dalam faktor-faktor pendidikan. Dalam hal tujuan, pendidikan harus
diorientasikan untuk mencetak individu yang berkesadaran kenabian, yang
mempunyai misi liberatif terhadap berbagai persoalan sosial. Pendidikan
dianggap berhasil jika mampu mencetak individu yang kritis terhadap persoalan
lingkungan dengan spiritualitas Islam. Untuk menghasilkan pribadi yang semacam
itu, berbagai elemen pendidikan harus ditinjau ulang. Kurikulum harus lebih
terkait dengan current issues sehingga dapat memberikan bekal pengetahuan dan
pengalaman kepada peserta didik tentang problem riil di masyarakat.
Strategi
pembelajaran harus diorientasikan untuk menghargai dan mengoptimalkan setiap
potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, evaluasi pendidikan harus
lebih berpijak pada potensi kemanusiaan peserta didik, bukan uniform yang
dipaksakan oleh pendidik. Dalam hal pengelolaan, pengelola lembaga pendidikan
harus mampu menggerakkan dan mengaktifkan setiap potensi yang ada di sekitarnya
untuk ikut memikirkan persoalan pendidikan. Akhirnya, pendidikan tidak harus
dimaknai sebagai proses yang berlangsung di ruang kelas saja, namun juga
terjadi di luar kelas. Karena itu, upaya mensinergikan antara unit keluarga,
sekolah, dan masyarakat perlu dilakukan.
2.2 Pendidikan
Tranformatif dan Pedagogi Kritis
Istilah
pedagogi kritis (critical pedagogy) muncul seiring dengan maraknya kajian
tentang pendidikan pembebasan, pendidikan untuk kaum tertindas, yang
dilontarkan oleh Paulo Freire asal Brasil.[4] Dalam buku Conternarratives Colin
Lankshear, Michael Peters, dan Michele Knobel[5] banyak mengulas pemikiran Freire
yang mengusung tema pendidikan pembebasan. Menurut mereka, pendidikan kritis
pada dasarnya bermula dari gagasan Freire. Menurut mereka ada beberapa ciri
pendidikan kritis. Pertama, pendidikan pada dasarnya merupakan bentuk kritik
sosial dan kultural, bahwa semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh
relasi bahasa yang dibentuk secara sosial dan historis.
Salah
satu tujuan pendidikan adalah rekonstruksi sosial. Lembaga pendidikan merupakan
media yang diharapkan mampu memperbaiki dan mengkritisi berbagai persoalan yang
muncul di masyarakat yang diakibatkan oleh faktor ekonomi, politik, dan budaya.
Karena itu, berbagai persoalan yang berkembang dalam realitas empirik tersebut
dibawa ke ruang kelas untuk dikritisi dan dicarikan jalan keluar melalui proses
kodifikasi konteks. Hasil pembahasan ini kemudian ditawarkan dan dilaksanakan
sebagai alternatif pemecahan. Proses ini tidak akan berjalan secara maksimal
jika tidak ada kesadaran kritis dari praktisi pendidikan terutama pendidik dan
peserta didik.
Kedua,
eksistensi seseorang sangat terkait dengan masyarakat yang lebih luas baik
dalam lingkup keluarga, masyarakat, ataupun lembaga pendidikan. Artinya
kesadaran seseorang pada dasarnya merupakan cermin kesadaran kolektif yang
dibentuk melalui mediasi keluarga, masyarakat, sekolah dan sebagainya.[6]
Sebab, ia belajar dari orang di sekitarnya. Dalam konteks pendidikan kritis,
masalahnya terletak pada kondisi seseorang ketika hidup dalam konteks
masyarakat yang tidak memungkinkan dia mengembangkan potensi secara optimal,
bahkan mandeg karena faktor struktural atau kultural.[7] Sebagai contoh, dia
hidup dalam struktur politik yang represif yang tidak memungkinkannya leluasa
mengeluarkan hak berpendapat untuk mengungkapkan keinginannya. Dia bahkan
mungkin tidak menyadari bahwa dia sedang mempunyai permasalahan yang disebabkan
oleh persoalan ekonomi atau politik yang ‘dikondisikan’ oleh pihak lain. Untuk
itu, proses pendidikan adalah upaya untuk ‘menyadarkan’ seseorang tentang
kondisi dia yang sebenarnya. Dalam paradigma pendidikan kritis, dia dibawa dari
kesadaran naïf[8] ke kesadaran kritis.[9]
Ketiga,
fakta sosial tidak pernah dapat dipisahkan dengan ranah nilai.[10] Ini berarti
bahwa berbagai aktifitas yang terjadi dalam realitas-empirik merupakan
perwujudan atau cermin nilai dari sang pelaku. Karena itu, menurut paradigma
ini, ada hubungan yang erat antara aktifitas dan tindakan dengan nilai, antara
konsep dengan obyek dan antara signifier dengan signified. Hubungan tersebut
tidak selalu tetap (fixed) dan seringkali dimediasi oleh lingkaran produksi,
konsumsi, dan relasi sosial. Untuk itu, pembacaan kritis terhadap sebuah fakta
sosial harus selalu dilakukan. Sebagai contoh, terma pembangunan dapat dimaknai
secara beragam oleh berbagai pihak hanya karena perbedaan pemahaman dan nilai
yang dibangun selama ini. Bagi pemerintah, pembangunan merupakan terma yang
digunakan sebagai proses mensejahterakan masyarakat. Karena itu, jika ada
pembangunan jalan tol, maka berarti ada upaya mensejahterakan masyarakat.
Namun, bagi masyarakat kata pembangunan dapat berarti sebaliknya, misalnya
analog dengan penggusuran, relokasi atau ganti rugi. Anggapan ini muncul karena
dalam realitasnya seringkali pembangunan dilakukan tidak didasarkan pada
kebutuhan riil di masyarakat, namun didasarkan pada kemauan dari penguasa
(top-down). Untuk mengatasi hal tersebut, perlu ada dialog terbuka antar
berbagai pihak sehingga ada persamaan persepsi antara pihak pemerintah dan
masyarakat.
Keempat,
bahasa merupakan pusat bagi formasi subyektifitas. Dalam perspektif ini
kepentingan, kebutuhan, dan kecenderungan seseorang atau lembaga dimunculkan
melalui media bahasa.[11] Di sisi lain, bahasa pada dasarnya merupakan bentuk
aksentuasi pemikiran seseorang yang kemudian disepakati bersama oleh
masyarakat. Karena itu, sangat banyak dijumpai ragam bahasa yang digunakan
masyarakat. Kata yang dimunculkan oleh sebuah komunitas belum tentu dimaknai
secara persis sama oleh komunitas lain. Karena itu, seringkali dijumpai di
masyarakat ada permasalahan yang muncul diakibatkan oleh perbedaan bahasa dan
kultur.
Kelima,
munculnya perbedaan status di kalangan anggota masyarakat baik secara ekonomi
maupun sosial disebabkan oleh pemberian previlise secara tidak adil oleh pihak
lain, seperti pihak birokrat, politisi, dan pemilik modal, karena kepentingan
tertentu. Masalahnya, banyak anggota masyarakat yang menganggap perbedaan itu
terjadi begitu saja, alami, dan niscaya. Dalam perspektif kritis, munculnya
perbedaan tersebut sangat mungkin disebabkan oleh perlakuan yang tidak adil
karena ada banyak kepentingan. Untuk itu, masyarakat perlu disadarkan tentang
kondisi ini. Ini tidak berarti bahwa semua anggota masyarakat harus sama, namun
ketika cara mendapatkan kekayaan, status social, atau jabatan itu dilakukan
secara wajar dan prosedural, tentu hal ini akan diterima, sebab bagaimanapun
kemampuan antara satu orang dengan yang lain berbeda.
Akhirnya,
dalam perspektif kritis munculnya berbagai permasalahan di masyarakat tidak
dapat dilihat hanya dari satu sisi saja, namun perlu mengaitkan dengan aspek
lain.[12] Sebagai contoh, persoalan ekonomi tidak cukup hanya dilihat dari
perspektif ekonomi, namun perlu dikaitkan dengan politik, budaya, bahkan
pemahaman terhadap ajaran agama. Memandang permasalahan dari satu segi saja
sama halnya dengan menyederhanakan masalah. Proses pendidikan harus mampu
melihat persoalan yang muncul di masyarakat dari banyak perspektif. Sebagai
contoh, banyaknya tenaga pendidik [guru] yang “ngobyek” di luar profesi sebagai
guru tidak dapat dilihat dari aspek profesionalisme dan etos kerja guru saja,
namun perlu dikaitkan dengan masalah kebijakan pemerintah yang belum menghargai
profesi guru, atau rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi ini.
Keenam
karakter pendidikan kritis di atas pada dasarnya merupakan proses transformasi
peserta didik secara individual maupun sosial. Artinya, dalam perspektif
pendidikan kritis munculnya berbagai permasalahan yang menimpa seseorang
disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Secara internal, dia
belum mencapai kesadaran kritis yang mampu menyelesaikan persoalan yang ada
dalam diri dan juga masyarakat sekitarnya. Hal ini merupakan cermin bahwa
proses pendidikan belum sepenuhnya mengoptimalkan potensi yang dimiliki peserta
didik. Untuk itu, praktik pendidikan harus diorientasikan untuk
mengaktualisasikan semua potensi yang dimiliki peserta didik tanpa ada
kepentingan tertentu dari pihak penguasa atau pengelola lembaga pendidikan. Di
sisi lain, secara eksternal, munculnya problem yang menimpa seseorang karena
faktor dari luar, misalnya ketidakadilan sosial, kepentingan politik,
kepentingan ekonomi pemilik modal, atau kultur yang kurang menguntungkan. Untuk
itu, dia harus disadarkan melalui proses pendidikan di mana ada proses refleksi
dan aksi. Refleksi dilakukan untuk membahas dan mencari alternatif pemecahan
terhadap problem realitas di ruang kelas, sementara aksi merupakan tindak
lanjut dari proses refleksi tersebut ke luar kelas.
Dikaitkan
dengan paradigma dalam ilmu-ilmu sosial, pendidikan kritis pada dasarnya satu
alur dengan paradigma transformative.[13] bukan positivistik atau interpretif.
Paradigma postivistik mencakup psitivisme, neopositivisme, positivisme
metodologis, dan positivisme logis, sementara paradigma interpretif mencakup
interaksionisme simbolis, fenomenologi, etnometodologi, hermeneutika,
psikoanalisa, etnologi, etnografi, dan sosiolinguistik, dan paradigma
transformatif mencakup sosiologi kritis, conflict school of thought, Marxisme,
dan feminisme.[14] Ketiga paradigma tersebut mempunyai perbedaan dalam
memandang realitas, manusia, ilmu pengetahuan, dan tujuan penelitian. Dalam
paradigma transformatif realitas merupakan sesuatu yang kompleks, apa yang
tampak (appearance) sebenarnya belum menggambarkan realitas sesungguhnya, sebab
realitas diciptakan oleh orang, bukan dikondisikan oleh alam.[15]
Di
balik yang tampak terdapat banyak ketegangan karena ada banyak kepentingan dari
pelaku. Pandangan ini berbeda dengan paradigma positivistik yang beranggapan
bahwa ralitas bersifat obyektif, dipersepsi melalui indera, dipersepsi secara
seragam oleh semua orang, dan diatur berdasarkan hukum eksternal.[16] Sementara
itu, bagi paradigma interpretif, realitas bersifat subyektif, berada dalam
pikiran orang dan ditafsirkan secara beragam oleh setiap orang.
Tentang
manusia, paradigma transformatif berpendapat bahwa ia adalah pencipta bagi
nasibnya sendiri, ia seringkali ditindas, dialienasi, dieksploitasi, dibatasi,
dikondisikan, dan dihambat realisasi potensinya. Hal ini berbeda dengan
paradigma positivistik yang berpandangan bahwa manusia adalah individu rasional
yang mentaati hukum eksternal dan tanpa free will, sementara paradigma
interpretif menganggap manusia sebagai pencipta dunianya sendiri, tidak
dibatasi oleh hukum eksternal, dan menciptakan sistem makna.
Sementara
itu, tentang ilmu pengetahuan dan tujuan penelitian, ketiga paradigma di atas
mempunyai arah yang jauh berbeda. Bagi paradigma positivistik, ilmu pengetahuan
didasarkan pada aturan dan prosedur yang ketat, bersifat deduktif, bergantung pada
kesan indra, dan bebas nilai. Dengan pandangan ini, tujuan penelitian
positivistik adalah untuk menjelaskan kehidupan sosial, memprediksi sejumlah
peristiwa, dan menemukan hukum-hukum kehidupan sosial. Sementara itu, bagi
paradigma interpretif, ilmu pengetahuan didasarkan pada common sense, bersifat
induktif, tergantung pada penafsiran, dan tidak bebas nilai. Bagi paradigma ini
tujuan penelitian adalah untuk menafsirkan dan memahami kehidupan sosial, serta
menemukan makna yang dimiliki oleh orang lain. Akhirnya, bagi paradigma
transformatif, ilmu pengetahuan adalah kondisi yang membentuk kehidupan, namun
kondisi ini dapat diubah, bersifat membebaskan dan memberdayakan, bergantung
pada kesan indra dan nilai, dan tidak bebas nilai. Dalam perspektif ini, tujuan
penelitian adalah untuk menjelaskan, menafsirkan, dan mengurai kehidupan
sosial, mengungkap mitos dan ilusi, dan untuk membebaskan dan memberdayakan
masyarakat..
2.3 Kearah Pendidikan Islam Transformatif
Secara
konseptual pendidikan Islam sebenarnya sudah cukup kaya dan sempurna sebab
ingin membentuk pribadi muslim sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat, meskipun lebih cenderung normative.[17] Sebab, dalam
realitasnya, praktik pendidikan Islam cenderung ‘idealis’ dan kurang
bersentuhan dengan problem realitas-empirik. Hal ini antara lain disebabkan
oleh adanya anggapan bahwa segala aktifitas hidup umat Islam, termasuk
pendidikan, harus didasarkan pada wahyu yang given dari Tuhan dalam pengertian
harfiah sehingga cenderung kurang melihat aspek realitas yang empirik.
Karena
itu, wajar jika formulasi tentang konsep pendidikan Islam relatif idealis dan
kurang ‘membumi’, kurang bersentuhan dengan problem realitas. Padahal, sosok
Nabi sendiri yang dijadikan sebagai model bagi pendidikan Islam jelas-jelas
terlibat langsung dalam penyelesaian problem di masyarakat.
Karena
itu, jika paradigma pendidikan kritis diterima dengan beberapa penyesuaian,
maka yang perlu dipikirkan adalah tindak lanjut secara praktis, mulai dari
perumusan orientasi pendidikan Islam, pembaharuan kurikulum, penyiapan sumber
daya manusia, diversifikasi strategi pembelajaran, perubahan model evaluasi,
evaluasi kebijakan, dan perubahan manajemen di lembaga pendidikan mulai dari
tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Berbagai komponen ini perlu dikaji
secara terpadu, simultan, dan komprehensif. Hal ini tidak hanya menjadi
tanggung jawab praktisi pendidikan Islam saja, namun semua stakeholder
pendidikan harus dilibatkan, mulai dari tenaga kependidikan di lembaga
pendidikan formal, peserta didik, alumni, pengguna alumni, orang tua, tokoh
masyarakat, kalangan LSM, akademisi, dan pejabat pemerintah terkait. Sebab,
proses pendidikan tidak dapat berjalan secara linear dan monolitik, namun
secara sirkular dan melibatkan banyak komponen.
Dalam
hal orientasi, pendidikan Islam seharusnya tidak sekedar membentuk kesalehan
individual semata, atau kesadaran mistik dalam perspektif Iqbal, namun harus
membentuk kesalehan sosial juga. Sebagaimana disinyalir Iqbal pada awal abad
ke-20 dan hingga sekarang masih terasa, umat Islam di dunia Timur cenderung
mengedepankan kesadaran mistik dan kesalehan individual yang diibaratkan dengan
larut dengan tasbih, yang penting selamat di akhirat, sementara problem sekitar
tidak begitu dipikirkan.[18] Untuk itu, orientasi pendidikan harus diarahkan
untuk membentuk individu muslim yang mempunyai kesadaran kenabian dengan
karakter emansipatif, liberatif dan transendental yang mampu membaca problem
empirik di sekitarnya sehingga ia mampu terlibat dalam penyelesaian problem.
Tetapi, di sisi lain, dia juga mampu menyelesaikan setiap problem yang
menimpanya.
Perubahan
orientasi perlu segera diimbangi dengan perubahan kurikulum yang akan
dibekalkan kepada setiap peserta didik. Sebagaimana dirumuskan oleh al-Attas,
bahwa kurikulum pendidikan Islam dikonstruk berdasarkan ajaran al-Qur’an dan
al-Sunnah, namun harus didialogkan dengan problem realitas sehingga muatannya
dinamis sesuai dengan konteks waktu dan tempat.[19] Dalam pengertian ini,
sebenarnya perubahan kurikulum dapat dilakukan kapan saja, tanpa menunggu
jangka waktu tertentu. Sebab, ketika problem dan tantangan yang dihadapi oleh
masyarakat berbeda dan berubah, maka harus diikuti oleh perubahan kurikulum jika
tidak ingin tertinggal dengan perubahan. Kurikulum dalam perspektif pendidikan
kritis harus selalu mendialogkan teks dan konteks, antara normatif dan
historis. Karena itu, akan selalu ada upaya kontekstualisasi teks sehingga
mampu menjawab problem bumi. Dalam pandangan Freire, akan selalu ada proses
kodifikasi konteks dan dekodifikasi. Kodifikasi konteks berarti mendialogkan,
mendiskusikan dan mencari alternatif pemecahan terhadap problem yang berkembang
di masyarakat ke dalam ruang ruang kelas.[20] Hasil rumusan alternatif ini
kemudian dibawa ke masyarakat sebagai sebuah tawaran pemecahan. Dengan
demikian, ada proses refleksi di ruang kelas dan proses aksi di luar kelas
secara terus-menerus. Ketika problem yang ada di masyarakat berkembang, maka
perlu ada kodifikasi kembali dan begitu seterusnya.
Hanya
saja, sebagaimana disinyalir oleh Rahman, umat Islam harus melihat kandungan
teks al-Qur’an dan al-Sunnah secara hermeneutis, dalam arti bahwa perlu ada
upaya pencarian tentang ide moral yang terkandung dalam teks al-Qur’an. Ini
hanya dapat dilakukan jika umat Islam melakukan kritik sejarah terhadap
diturunkannya kitab tersebut. Untuk itu, Rahman menawarkan double movement
methodology untuk dapat menangkap ide moral al-Qur’an.[21] Dalam pandangannya,
sejak dulu sampai akhir zaman, teks al-Qur’an tetap, namun formulasi untuk
pembumiannya dinamis tergantung problem yang berkembang di masyarakat.
Berdasarkan
pemikiran tersebut, kurikulum dalam pendidikan Islam kritis, apa pun nama
pengetahuan yang akan diajarkan, mengharuskan ada perpaduan secara dinamis
antara teks dan konteks. Untuk itu, paradigma contextual teaching learning
perlu diterapkan, artinya setiap materi yang disampaikan oleh pendidik harus
bermakna bagi peserta didik. Apa yang dipelajari di dalam kelas harus selalu
dikaitkan dengan problem dan konteks keseharian yang dihadapi peserta didik.
Sebagai contoh, ketika berbicara tentang kerusakan lingkungan, harus ada dialog
antara teks al-Qur’an dengan problem lingkungan yang ada di sekitar sekolah yang
bersangkutan. Jika sekolah itu bertempat di Kalimantan, maka perlu dikaitkan
dengan kasus illegal logging atau pembakaran hutan. Untuk di Riau misalnya,
kasus-kasus dan isu illegal logging atau pembakaran hutan ini menjadi
relevan untuk diangkat. Karena itu, dalam kurikulum ini harus lebih banyak
memasukkan problem dan kearifan lokal.
Perubahan
orientasi dan kurikulum tersebut, juga harus diimbangi dan dibarengi dengan
penyiapan sumber daya manusia yang mampu mengimplementasikan orientasi dan
kurikulum itu dalam konteks praxis. Dalam sebuah adagium Arab dikenal
al-mudarris ahammu min al-maddah wa al-tariqah. Sebaik apa pun materi dan
strategi pembelajaran, jika tidak dipahami oleh pendidik, maka tidak akan
berjalan secara maksimal. Untuk itu, perubahan mindset di kalangan praktisi
pendidikan perlu dilakukan segera. Yang perlu dicermati bahwa merubah kultur
berpikir tidak semudah merubah struktur. Jika perubahan struktur dapat
dilakukan dalam hitungan hari bahkan jam, maka perubahan kultur [berpikir]
memerlukan waktu cukup lama, tidak hanya tahunan bahkan generasi. Tidak
mengherankan jika dalam kenyataan telah terjadi perubahan struktur
[pemerintahan dan pengelola lembaga pendidikan], namun belum ada perubahan
kultur. Sebab, orang yang menjalankan struktur baru tersebut masih sama dengan
kultur lama.
Dalam
pendidikan Islam Transformatif, sumber daya manusia pertama yang harus dibenahi
adalah pendidik. Ini tidak berarti yang lain tidak perlu dibenahi. Namun, para
pendidiklah yang menjadi ujung tombak (avant garde) terjadinya perubahan.
Sebab, mereka yang selalu terlibat langsung dengan peserta didik dan yang
mengimplementasikan kurikulum. Ini berarti, berhasil tidaknya sebuah rumusan
dan konsep kurikulum dalam konteks praktis sangat ditentukan oleh faktor pendidik.
Semakin berkualitas pendidik, semakin berhasil dalam membawa perubahan.
Dikaitkan
dengan implementasi Kurikulum 2004 yang terkenal dengan kurikulum berbasis
kompetensi (KBK), sosok pendidik sangat diharapkan untuk keberhasilan kurikulum
baru tersebut. Sebab, dalam pengelolaan kurikulum yang berujung pada penjabaran
silabus dan materi pembelajaran dari rumusan kompetensi minimal yang ditetapkan
oleh pemerintah pusat lebih diserahkan kepada pihak sekolah/madrasah, khususnya
pendidik. Dalam hal ini mereka dapat bekerjasama dengan berbagai pihak terkait
seperti kepala sekolah, akademisi di perguruan tinggi dan tokoh masyarakat,
namun yang menjadi inisator adalah pendidik.
Posisi
pendidik semakin penting mengingat penjabaran materi sangat diserahkan ke tiap
wilayah, bahkan lembaga pendidikan, untuk mengembangkannya tergantung
kebutuhan. Hal ini didasari oleh prinsip pengelolaan KBK ‘kesatuan dalam
kebijakan dan keragaman dalam pelaksanaan.’ Karena itu, sangat dimungkingkan
adanya perbedaan implementasi dan pengembangan antara satu wilayah dengan
wilayah lain. Bahkan, dalam satu wilayah pun sangat dimungkinkan adanya
keragaman implementasi antara satu lembaga pendidikan dengan lembaga pendidikan
lain. Untuk itu, diperlukan pendidik yang mampu menerjemahkan dan menjabarkan
kompetensi dasar sesuai dengan kondisi wilayah dan sekolah.
Pendidik
bukan lagi menjadi satu-satunya sumber belajar, sebab apa pun dapat dijadikan
sebagai sumber belajar selama mendukung pencapaian hasil belajar. Sumber
belajar yang dirancang secara khusus, seperti miniatur ka’bah, masjid, atau
piramida, ataupun sumber belajar yang tinggal memanfaatkan seperti praktisi
perbankan, politisi, tokoh masdyarakat, sungai, internet, radio, dan surat
kabar, mempunyai fungsi yang sama dalam mengoptimalkan pencapaian hasil belajar
peserta didik. Hal ini menuntut pendidik untuk semakin aktif dan kreatif dalam
proses pembelajaran jika tidak ingin ketinggalan dengan peserta didiknya yang
dapat belajar dari banyak sumber. Berdasarkan pemikiran tersebut, dalam konteks
pendidikan kritis diperlukan tenaga kependidikan yang mempunyai pengetahuan
dinamis tentang strategi pembelajaran.
Proses
pembelajaran harus mampu mengoptimalkan segenap potensi peserta didik dengan
cara melibatkan mereka secara fisik dan mental dalam setiap pembelajaran. Untuk
itu, strategi pembelajaran yang diterapkan pendidik harus mempertimbangkan
setiap kecenderungan tipe belajar setiap peserta didik, apakah tipe somatik,
auditif, visual atau intelektual. Peserta didik yang mempunyai kecenderungan
somatik tidak akan maksimal dalam belajarnya jika pendidik menggunakan strategi
belajar dengan ceramah, sebab metode ini hanya cocok bagi peserta didik dengan
tipe belajar auditif. Tipe somatik hanya cocok jika pendidik menggunakan
strategi yang membuat peserta didik terlibat secara fisik (learning by doing).
[22]
Bergitu
juga, peserta didik dengan tipe belajar visual akan tepat dan maksimal jika
pendidik menggunakan strategi pembelajaran dengan contoh-contoh visual atau
gambar, sementara peserta didik dengan tipe belajar intelektual akan tepat jika
menggunakan strategi pembelajaran dengan penalaran.
Dis
sisi lain, seorang pendidikan harus kritis mencermati persoalan kependidikan,
mulai dari penyimpangan praktik pendidikan di lapangan, kebijakan yang tedak
tepat sampai persoalan yang menimpa dirinya sebagai seorang pendidik. Hal ini
dilakukan agar pendidik [baca : guru] tidak hanya menjadi sosok manusia yang
pasrah dan pasif karena dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa atau sosok
Umar Bakri yang lugu dan sederhana. Dalam perspektif kritis, kesederhanaan
pendidik tentu masih sangat relevan tetapi tanpa mengabaikan peran dia yang
harus kreatif dan kritis dalam menyelesaikan persoalan pendidikan. Masalah
pendidikan tidak hanya diserahkan kepada para akademisi di perguruan tinggi
atau pengambil keibjakan saja, namun dia juga harus berperan aktif dalam
menyelesaikannya dengan kemampuan yang dimiliki.
Berdasarkan
elaborasi singkat tersebut tampak bahwa diversifikasi strategi pembelajaran
oleh pendidik mutlak diperlukan mengingat dalam satu kelas terdapat banyak
peserta didik yang mempunyai banyak kecenderungan tipe belajar. Untuk itu,
tidak ada strategi belajar yang paling tepat untuk setiap waktu dan tempat. Hal
ini sangat dipengaruhi oleh tujuan pembelajaran, kondisi peserta didik, waktu,
fasilitas, dan pendidik. Yang jelas, untuk konteks pendidikan kritis, strategi
pembelajaran diabdikan untuk mengoptimalkan potensi peserta didik, bukan untuk
memenuhi harapan pendidik dan menghabiskan materi. Pendidik dituntut mengajar
peserta didik untuk selalu dalam proses pencarian ilmu yang kritis dan dinamis,
agar dia tidak terjebak pada context of justification, namun context of
discovery. [23]
Perubahan
lain yang perlu dilakukan jika pendidikan kritis diterapkan adalah konsep
evaluasi. Evaluasi harus dimaknai sebagai upaya untuk mengetahui sejauhmana
proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah mampu mengoptimalkan potensi yang
dimiliki oleh setiap peserta didik. Karena potensi yang dimiliki peserta didik
tidak tunggal, maka sasaran evaluasi juga tidak boleh tunggal. Evaluasi harus
bertolak dari keragaman potensi yang dimiliki setiap peserta didik. Karena itu,
evaluasi yang selama ini lebih melihat pada beberapa mata pelajaran tertentu,
seperti mata pelajaran yang di-Ebtanas-kan, dalam perspektif pendidikan kritis
adalah tidak tepat. Sebab, yang dihargai hanya beberapa mata pelajaran saja,
belum semua mata pelajaran. Ini sama saja hanya menghargai salah satu potensi
yang dimiliki peserta didik.
Idealnya,
setiap potensi dan kecenderungan peserta didik dihargai. Menurut Gardner,
peserta didik paling tidak mempunyai delapan kecenderungan, yang kemudian dia
jelaskan menjadi ragam kecerdasan (multiple intelligence), yaitu cerdas angka,
kata, ruang, irama, fisik, interpersonal, intrapersonal, dan alam.[24] Dalam
perspektif ini, jika selama ini prestasi anak hanya dilihat dari mata pelajaran
matematika saja, sebenarnya ini baru melihat satu jenis kecerdasan, yaitu
cerdas angka, padahal tidak semua peserta didik mempunyai kecenderungan ini.
Untuk itu, dalam perspektif pendidikan kritis, setiap jenis kecerdasan ini
harus diapresiasi dan dioptimalkan, sehingga setiap kecenderungan anak
diperhatikan. Dalam jangka panjang tidak ada anak yang merasa minder hanya
karena ia tidak cerdas angka, padahal ia cerdas kata atau cerdas fisik. Selain
itu, tidak ada peserta didik yang merasa ‘di atas angin’ dibandingkan
teman-teman yang lain hanya karena dia mempunyai kecerdasan angka.
Berbagai
agenda perubahan dalam praktek pendidikan berperspektif kritis tersebut tidak
akan berjalan maksimal tanpa adanya dukungan politik dari pihak pemerintah.
Untuk konteks keindonesiaan, perubahan manajemen pemerintahan dari sentralisasi
ke desentralisasi mengharuskan pemerintah [pusat] mengkondisikan berbagai aturan
yang memungkinkan berjalannya konsep otonomi terutama dalam bidang pendidikan.
Dalam manajemen baru ini, pemerintah pusat tidak lagi menjadi pemegang otoritas
pembuatan kebijakan, apalagi sampai pembuatan juklak dan juknis. Pemerintah
hanya membuat rambu-rambu yang bersifat global. Untuk itu, perlu ada evaluasi
kebijakan dalam bidang pendidikan, mana kebijakan yang memberikan ruang bagi
praktisi pendidikan untuk kreatif dan mana kebijakan yang menghambat dan
mengekang.
Dalam
konteks otonomi, kreatifitas masyarakat, khususnya pengelola lembaga pendidikan
sangat diperlukan. Sebab, merekalah yang paling tahu kebutuhan dirinya. Untuk
itu, pengembangan lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh pengelola lembaga
pendidikan, khususnya kepala sekolah. Munculnya konsep manajemen berbasis
sekolah dalam perspektif TQM (total quality management) merupakan wujud
adanya pemberian keleluasaan pihak sekolah untuk merumuskan arah kebijakannya
sendiri sesuai dengan kebutuhan riil, bukan ditentukan dari atas. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, dia harus mampu memanaje potensi yang ada di
sekitarnya, untuk itu harus mampu mensinergikan peran dan potensi para
stakeholder pendidikan.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dalam
pembuatan makalah ini, kami dapat menyimpulkan bahwa Pendidikan merupakan unsur
elementer yang tidak dapat dilepaskan dari aspek teologis. Komitmen Islam
secara teologis terhadap pendidikan dapat dilacak pada al-Qur’an surat al-Alaq
(96):1-14. Ayat-ayat dalam surat ini menjelaskan tentang signifikansi
pengetahuan yang benar yang harus diketahui dan disebarkan umat Islam secara
khusus dan umat manusia umumnya.
Nilai-nilai dan komitmen Islam itu akan makin tampak bila dikaitkan dengan
Hadits A’isyah tentang permulaan turunnya wahyu (lihat al-Bukhari, 18-24), di
mana Tuhan menyuruh “membaca” kepada Muhammad. Pertama kali Nabi menolak karena
dia tidak bisa membaca. Namun, Tuhan menjelaskan, “membaca” adalah kewajiban
manusia; mencari dan mengamalkan pengetahuan adalah sifat intrinsik yang harus
ada pada manusia. Hadits ini juga menggambarkan dengan jelas mengenai proses
penyampaian pengetahuan dalam Islam, yaitu sifatnya yang sangat menekankan pada
penciptaan suasana dialogis dan aktif.
Berdasarkan paparan yang telah diuraikan diatas, semakin mempertegas bahwa
konsep allama ma lam ya’lam (Tuhan mengajarkan segala hal yang tidak diketahui
manusia) mengandung pengertian, Allah selalu mengajarkan suatu pengetahuan baru
setiap saat kepada manusia. Sehingga manusia dituntut untuk belajar tentang apa
saja sepanjang hidupnya, dan hendaknya selalu berdialog secara transformatif dengan perkembangan zaman. Manusia tidak boleh berhenti pada
pengetahuan yang dimilikinya, tetapi mesti selalu mencari sesuatu “yang baru”
diluar dirinya. Lebih-lebih seorang guru, sebagai bagian penting dalam proses
pendidikan, menjadi lebih dituntut untuk melakukan proses transformasi ini.
3.2 SARAN
1. Salah
satu cara untuk meningkatkan system pendidikan transformatif adalah mensinergikan
peran dan potensi para stakeholder pendidikan
2. Diperlukan juga sebuah evalusai karena dimaknai
sebagai upaya untuk mengetahui sejauhmana proses pembelajaran yang dilakukan di
sekolah mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik.
3. Kritik dan saran dari pembaca sangat
diharapkan demi kesempurnaan penulisan makalah di kemudian hari.
Daftar Pustaka
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam
Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), 90-93.
Mastuhu, “Pendidikan Islam di Indonesia
Masih Berkutat pada Nalar Islami Klasik” dalam Tashfirul Afkar Jurnal
Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, No. 11 Tahun 2001
M.
Amin Abdullah, “Preliminary Remarks on the Philosophy of Islamic Relious
Sciences” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 61 tahun
1998,
Muqawim, “Mencari Format Baru Pendidikan Islam
dalam Masyarakat Plural” dalam Jurnal Ta’dib Vol. IV No. 02, September
2001: 89-113 dan
________, “Shifting Paradigm Pendidikan
Islam dalam Masyarakat Plural” dalam M. Amin Abdullah dkk., Tafsir Baru
Studi Islam dalam Era Multikultural (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga dan
KLS, 2002)
Wan
Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib
al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk. (Bandung: Mizan, 2003),
[1] Abdul Munir
Mulkhan. Paradigma Intelektual Muslim : Pengantar Filsafat Pendidikan dan
Dakwah, (Yogyakarta : SIPRESS. 1993), hlm. 237.
[2] Abdul Munir
Mulkhan, “Humanisasi Pendidikan Islam” dalam Tashwirul Afkar, No 11,
tahun 2000, hlm. 11.
[3] Untuk
selanjutnya, lihat tulisan Michael Peters dan Colin Lankshear, “Postmodern
Counternarratives” dalam Henry Giroux, et al., Counternarratives Cultural
Studies and Critical Pedagogies in Postmodern Spaces (New York & London:
Routledge, 1996), 9.
[4] Lihat karya Paulo
Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Seabury, 1970) dan Education
for Critical Consciousness (New York: Seabury, 1973).
[5] Misalnya Lihat
Henry Giroux, Colin Lankshear, Peter McLaren, dan Michael Peters, Counternarratives:
Cultural Studies and Critical Pedagogies in Postmodern Spaces, (New York
& London: Routledge, 1996), 125-126.
[6] Joe L. Kincheloe,
and McLaren, Peter, "Rethinking Critical Theory and Qualitative
Research," in Norman K. Denzin and Yuonna S. Lincoln (Eds.) Handbook of
Qualitative Research (Second Edition). (London: Sage Publication, Inc.,
2000), 139-140.
[7] Colin Lankshear,
Michael Peters and Michele Knoebel, “Critical Pedagogy and Cyberspace” in Henry
Giroux, Colin Lankshear, Peter McLaren, dan Michael Peters,
Counternarratives, 150.
[8] Sebagai
ilustrasi, kesadaran naïf adalah ketika seseorang mengetahui bahwa dia
sebenarnya ‘bermasalah’, namun tidak kuasa mengatasi karena dikondisikan secara
eksternal seperti ekonomi, politik, hokum, dan budaya.
[9] Sementara itu,
kesadaran kritis terjadi ketika seseorang menyadari permasalahan yang dihadapi
[dan problem masyarakat sekitar] dan aktif dalam pencarian alternative
pemecahan.
[10] Peter McLaren,
“Liberatory Politics and Higher Education: A Freirean Perspective” in Henry
Giroux, Colin Lankshear, Peter McLaren, dan Michael Peters, Counternarratives,
125.
[11] Ibid.
[12] Peter McLaren,
“Liberatory Politics”, 126.
[13] Elliot W.
Eisner, “Curriculum Ideologies” in Philip W. Jackson (ed.), Handbook of
Research on Curriculum (New York: Simon and Schuster Macmillan, 1996), 314-316.
[14] Sotirios
Sarantakos, Social Research, 2nd edition (Australia: Macmillan Education
Australia Pty Ltd., 1998), 33.
[15] Ibid,hlm. 36
[16] Ibid.
[17] Baca kajian
Azyumardi Azra tentang literature pendidikan Islam yang ada di Indonesia. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam
Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), 90-93.
Bandingkan dengan Muqowim, “Dinamika Kajian Islam “Mazhab Sapen” Pemetaan atas
Karya Disertasi di Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta” dalam
Profetika Jurnal Studi Islam, Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 53-57.
[18] K.G. Saiyidain,
“Progressive Trends in Iqbal’s Thought” in Eminent Scholars, Iqbal as A Thinker
(Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1991), 56.
[19] Wan Mohd Nor Wan
Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj.
Hamid Fahmy dkk. (Bandung: Mizan, 2003), 266.
[20] Peter McLaren,
“Liberatory Politics and Critical Pedagogy”, 142.
[21] Fazlur Rahman,
Islam and Modernity, 15
[22] Dave Meier, The
Accelerated Learning Handbook (USA: McGraw-Hill Co., 2000), 41-52
[23] M. Amin
Abdullah, “Preliminary Remarks on the Philosophy of Islamic Relious Sciences”
dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 61 tahun 1998, 6
[24] Lihat
karya-karya bukunya Gordon Dryden and Jeannette Vos, The Learning Revolution To
Change the Way the World Learns , 443 dan 489; Thomas Armstrong, Multiple
Intelligence in the Classroom (ASCD, 1994).
0 komentar:
Posting Komentar