Selasa, 06 Desember 2016

Makalah - Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan menurut arti secara bahasa adalah proses, cara, perbuatan membuat berdaya, yaitu kemampuan untuk melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak yang berupa akal, ikhtiar atau upaya (Depdiknas, 2003). Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu  sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 2009). Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan. Dalam perspektif pembangunan ini, disadari betapa penting kapasitas manusia dalam upaya meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal atas sumber daya materi dan non material.

Dalam beberapa kajian mengenai pembangunan komunitas, pemberdayaan masyarakat sering dimaknai sebagai upaya untuk memberikan kekuasaan agar suara mereka didengar guna memberikan kontribusi kepada perencanaan dan keputusan yang mempengaruhi komunitasnya (Foy, 1994). Pemberdayaan adalah proses transisi dari keadaan ketidakberdayaan ke keadaan kontrol relatif atas kehidupan seseorang, takdir, dan lingkungan (Sadan, 1997). Menurut Mubarak (2010) pemberdayaan  masyarakat dapat diartikan sebagai upaya untuk memulihkan atau meningkatkan kemampuan suatu komunitas untuk mampu berbuat sesuai dengan harkat dan martabat mereka dalam melaksanakan hak-hak dan tanggung jawabnya selaku anggota masyarakat.

Pada pemberdayaan pendekatan proses lebih memungkinkan pelaksanaan pembangunan yang memanusiakan manusia. Dalam  pandangan ini pelibatan masyarakat dalam pembangunan lebih mengarah kepada bentuk partisipasi, bukan dalam bentuk mobilisasi. Partisipasi masyarakat dalam perumusan program membuat masyarakat tidak semata-mata berkedudukan sebagai konsumen program, tetapi juga sebagai produsen karena telah ikut serta terlibat dalam proses pembuatan dan perumusannya, sehingga masyarakat merasa ikut memiliki program tersebut dan mempunyai tanggung jawab bagi keberhasilannya serta memiliki motivasi yang lebih bagi partisipasi pada tahap-tahap berikutnya (Soetomo, 2006).

Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Sedangkan Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment” yang berarti memberi daya, memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya.

1.2 Sejarah Kemunculan Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Empowerment, atau pemberdayaan adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran dan kebudayaan masyarakat Barat, terutama Eropa. Konsep ini muncul sejak dekade 70-an dan kemudian terus berkembang sampai saat ini. Kemunculannya hampir bersamaan dengan aliran-aliran seperti eksistensialisme, phenomenologi, personalisme dan kemudian lebih dekat dengan gelombang Neo-Marxisme, freudianisme, strukturalisme, dan sosiologi kritik Frankfurt School. Bersamaan itu juga muncul konsep-konsep elit, kekuasaan, anti-establishment, gerakan populis, anti-struktur, legitimasi, ideologi pembebasan dan civil society. Konsep pemberdayaan juga dapat dipandang sebagai bagian dari aliran-aliran paruh abad ke-20, atau yang dikenal dengan aliran post-modernisme, dengan penekanan sikap dan pendapat yang orientasinya adalah anti-sistem, anti-struktur, dan anti-determinisme, yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan.

Diawali pada akhir tahun 1960-an, para ahli menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tidak langsung terkait dengan tujuan pembangunan yang lain seperti penciptaan lapangan kerja, penghapusan kemiskinan dan kesenjangan, serta peningkatan pemenuhan kebutuhan dasar. Bahkan dibeberapa negara seperti Iran, Kenya, Meksiko, Nikaragua, Pakistan dan Afrika Selatan yang pencapaian pertumbuhan ekonominya tinggi, justru muncul masalah ‘maldevelopment’. Pada kenyataannya, pertumbuhan ekonomi tidak mengurangi kemiskinan dan tidak menciptakan pertumbuhan lapangan pekerjaan sebagaimana diprediksikan, bahkan dalam beberapa kasus kesenjangan ekonomi justru meningkat. Pada tahun 1970, sejumlah 944 juta orang, atau 52 persen dari total penduduk Negara Selatan masih hidup dibawah garis kemiskinan. Data juga menunjukkan adanya peningkatan jumlah pengangguran, terutama dibidang pertanian dan peningkatan kesenjangan pendapatan. Tahun 1970-an benar-benar merupakan periode dimana pertumbuhan ekonomi di Negara berkembang diikuti dengan meningkatnya kesenjangan.

Permasalahan ‘maldevelopment’ sebagaimana dijelaskan, memunculkan beberapa pandangan yang berbeda. Perbedaan tersebut dilandasi oleh paradigma atau cara pandang yang sangat berpengaruh terhadap teori-teori yang digunakan sebagai alat analisis atas realitas sosial. Teori mencakup empat fungsi dasar yaitu: penjelasan, prediksi, kontrol dan pengelolaan perubahan. Pemberdayaan masyarakat adalah praktek berdasarkan empat fungsi tersebut: menggambarkan kejadian; menjelaskan sebab-sebab kejadian tersebut; memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya (termasuk apa yang akan terjadi apabila dilakukan intervensi atau tidak dilakukan intervensi); dan berusaha untuk mengelola dan mengontrol terhadap perubahan pada semua level aktifitas masyarakat.

Menurut Fakih, salah satu dari banyak hal yang mempengaruhi terbentuknya sebuah teori adalah apa yang disebut sebagai paradigma. Pembahasan mengenai paradigma ini perlu dilakukan mengingat pentingnya pengaruh paradigma terhadap teori dan analisis atas realitas sosial, karena pada dasarnya tidak ada satu pandangan atau satu teori sosial pun yang bersifat netral dan objektif, melainkan bergantung terhadap paradigma yang digunakan. Thomas Kuhn dalam bukunya “The Structure of Scientific Revolution” menjelaskan bahwa suatu aliran ilmu lahir dan berkembang sebagai proses revolusi paradigma, dimana suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru. Paradigma diartikan sebagai satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan sebuah teori.

Dalam konteks pemberdayaan, paradigma memiliki peran untuk membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat suatu masalah, apa yang kita anggap sebagai masalah ketidakberdayaan itu, apa masalah yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta metode apa yang kita gunakan untuk meneliti dan melakukan intervensi atas masalah tersebut. Begitu juga paradigma akan mempengaruhi apa yang tidak kita pilih, apa yang tidak ingin kita lihat, dan apa yang tidak ingin kita ketahui. Paradigma pula yang akan mempengaruhi pandangan seseorang mengenai apa yang ‘adil dan tidak adil’, baik-buruk, tepat atau tidaknya suatu program dalam memecahkan masalah sosial. Dalam konteks ini, Freire menjelaskan klasifikasi ideologi teori social yang terbagi kedalam tiga kesadaran yaitu: kesadaran magis (magical consciousness); kesadaran naif (naival consciousness); dan kesadaran kritis (critical consciousness).

Pertama, kesadaran magis yaitu suatu keadaan kesadaran yang tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran magis lebih mengarahkan penyebab masalah dan ketidakberdayaan masyarakat dengan faktor-faktor diluar manusia, baik natural maupun supranatural. Dalam teori perubahan sosial, apabila proses analisis sebuah teori tidak mampu mengaitkan antara sebab dan musabab suatu masalah sosial, teori tersebut disebut sebagai teori sosial fatalistik. Suatu teori sosial bisa dikategorikan dalam model ini jika teori yang dimaksud tidak memberikan kemampuan analisis dan kaitan antara sistem dan struktur terhadap masalah sosial. Masyarakat secara dogmatik menerima kebenaran dari teoretisi sosial tanpa ada mekanisme untuk memahami makna ideologi setiap konsepsiatas kehidupan masyarakat.

Dalam konteks masyarakat, orang yang memahami masalah sosial dengan menggunakan kesadaran magis ini akan melihat bahwa kemiskinan dan ketidakberdayaan masyarakat merupakan takdir atau ketetapan dari Tuhan. Hanya Tuhan yang Maha Tahu apa arti dan hikmah dibalik ketentuan tersebut. Makhluk, termasuk umat tidak tahu tentang gambaran besar skenario Tuhan akan perjalanan umat manusia. Bagi mereka, masalah kemiskinan dan marginalisasi tidak ada kaitannya dengan globalisasi dan modernisasi, bahkan sering dianggap sebagai ‘ujian’ atas keimanan dan kita tidak tahu manfaat dan mudaratnya, malapetaka apa yang dibalik kemajuan dan pertumbuhan serta globalisasi bagi umat-umat manusia dan lingkungan di masa mendatang. Pandangan didasarkan pada teologi mengenai predeterminism atau takdir, yakni ketentuan dan rencana Tuhan jauh sebelum alam diciptakan.

Kedua, kesadaran naif, yang melihat ‘aspek manusia’ sebagai akar penyebab masalah dalam masyarakat. Dalam kesadaran ini, masalah etika, kreatifitas dan ‘need for achievement’ dianggap sebagai penentu dalam perubahan sosial. Jadi, dalam menganalisis kemiskinan mereka berpendapat bahwa masyarakat miskin karena kesalahan mereka sendiri, yakni karena mereka malas, tidak memiliki jiwa kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya pembangunan dan seterusnya. Oleh karena itu, man power development adalah sebuah jalan keluar yang diharapkan dapat memicu perubahan. Teori perubahan dalam konteks ini adalah teori yang tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada dianggap sudah baik dan benar, merupakan faktor given dan karena itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas teori sosial adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar masyarakat bisa beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut. Paradigma inilah yang dikategorikan sebagai perubahan yang bersifat reformatif.

Masyarakat yang memiliki kesadaran ini pada dasarnya sepaham dengan pikiran modernisasi sekuler mengenai kemiskinan dan ketidakberdayaan. Mereka percaya bahwa masalah yang dihadapi kaum miskin berakar dari persoalan karena ada yang salah dengan sikap mental, budaya, ataupun teologi mereka. Kemiskinan umat tidak ada sangkut pautnya dengan menguatnya paham neloliberalisme maupun globalisasi. Mereka menyerang teologi fatalistik sebagai penyebabnya. Kesadaran ini memiliki pendekatan dan analisis yang sama dengan penganut paham modernisasi sekuler yang menjadi aliran mainstream pembangunan. Menurut mereka, kemiskinan yang terjadi di Indonesia karena mereka tidak mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses pembangunan dan globalisasi. Oleh karena itu, mereka cenderung melihat nilai-nilai (values) sikap mental, kreativitas, budaya dan paham teologi sebagai pokok permasalahan, dan tidak melihat struktur kelas, gender dan sosial sebagai pembentuk nasib masyarakat. Bagi mereka, masyarakat harus berpartisipasi dan mampu bersaing dalam proses industrialisasi dan globalisasi serta proses pembangunan. Mereka tidak mempersoalkan globalisasi dan pembangunan itu sendiri sepanjang diterapkan melalui pendekatan dan metodologi yang benar, serta dikelola oleh pemerintahan yang bersih (Sri Widayanti, Pemberdayaan Masyarakat: Pendekatan Teoritis).

Bagi penganut paham ini, permasalahan globalisasi lebih pada sejauh mana mereka mampu menyiapkan sumber daya manusia yang cocok dan dapat bersaing dalam sistem pasar bebas. Dalam menghadapi tantangan globalisasi kapitalisme dan menguatnya liberalisme, para intelektual yang memiliki kesadaran naïf ini justru menggali ajaran-ajaran agama yang sesuai dengan modernisasi dan liberalisme, melakukan penafsiran ulang atas ajaran-ajaran agama yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman, tanpa mempersoalkan secara mendasar masalah yang diakibatkan oleh neoliberalisme.

Ketiga, kesadaran kritis, yaitu paradigma yang lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya dan bagaimana keterkaitan aspek-aspek tersebut berakibat pada keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam perubahan sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur tersebut bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas teori sosial dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar masyarakat terlibat dalam suatu proses dialog ‘penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik atau lebih adil’. Kesadaran ini disebut sebagai kesadaran transformatif. Masyarakat yang memiliki kesadaran ini percaya bahwa ketidakberdayaan masyarakat, termasuk masyarakat muslim disebabkan oleh ketidakadilan sistem dan struktur ekonomi, politik, dan budaya. Bagi mereka, agenda yang harus dilakukan adalah melakukan transformasi terhadap struktur melalui penciptaan relasi yang secara fundamental lebih baik dan lebih adil dalam bidang ekonomi, politik dan budaya. Mereka menyadari bahwa transformasi meliputi proses panjang penciptaan ekonomi yang tidak eksploitatif, politik tanpa represi dan kultur tanpa hegemoni, serta penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia.

Dengan mendasarkan pada prinsip keadilan, fokus kerja kaum ini adalah mencari akar teologi, metodologi dan aksi yang memungkinkan terjadinya transformasi sosial. Keberpihakan mereka terhadap kaum miskin dan tertindas tidak hanya diilhami oleh sumber-sumber ajaran agama, tetapi juga didasarkan pada analisis kritis terhadap struktur yang ada. Agama bagi mereka dipahami sebagai pembebasan bagi yang tertindas, serta mentransformasikan sistem eksploitasi menjadi sistem yang adil. Globalisasi, serta berbagai proyek kapitalisme yang lain bagi golongan ini menjadi salah satu penyebab yang memiskinkan, memarginalisasi dan mengalienasi masyarakat. Selain usaha praktis untuk membantu memecahkan persoalan ekonomi, politik, dan budaya keseharian melalui proyek-proyek pengembangan ekonomi berbasis masyarakat, mereka juga mengaitkannya dengan melakukan advokasi untuk mempengaruhi kebijakan Negara baik di level nasional maupun lokal yang memarginalkan kaum miskin dan pinggiran.









BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu yang dipahami. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran mental, yang dinyatakan dalam suatu kata atau simbol. Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata power yang berarti kekuasaan atau keberdayaan. Konsep pemberdayaan berawal dari penguatan modal sosial di masyarakat (kelompok) yang meliputi penguatan penguatan modal sosial. Apabila kita sudah memiliki modal sosial yang kuat maka kita akan mudah mengarahkan dan mengatur (direct) masyarakat serta mudah mentransfer pengetahuan kepada masyarakat. Dengan memiliki modal sosial yang kuat maka kita akan dapat menguatkan knowledge, modal (money), dan people. Konsep ini mengandung arti bahwa konsep pemberdayaan masyarakat adalah transfer kekuasaan melalui penguatan modal sosial kelompok untuk menjadikan kelompok produktif untuk mencapai kesejahteraan sosial. Modal sosial yang kuat akan menjamin suistainable dalam membangun rasa kepercayaan di dalam masyarakat khususnya anggota kelompok (how to build the trust).

Oleh karena itu, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai modal soaial dan kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dan dihubungkan dengan kemampuan individu untuk membuat individu melakukan apa yang diinginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Pada  dasarnya,  pemberdayaan  diletakkan  pada  kekuatan  tingkat  individu  dan sosial (Sipahelut, 2010). Pemberdayaan  merujuk  pada  kemampuan  orang,  khususnya  kelompok  rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan  atau kemampuan dalam (a)  memenuhi  kebutuhan  dasarnya  sehingga  mereka  memiliki  kebebasan  (freedom),  dalam  arti  bukan  saja  bebas  dalam  mengemukakan  pendapat,  melainkan  bebas  dari  kelaparan,  bebas  dari  kebodohan,  bebas  dari  kesakitan;  (b)  menjangkau  sumber-sumber  produktif  yang  memungkinkan  mereka  dapat  meningkatkan  pendapatannya  dan  memperoleh  barang-barang  dan  jasa-jasa  yang  mereka perlukan;  dan  (c)  berpartisipasi  dalam  proses pembangunan dan keputusan keputusan yang mempengaruhi mereka (Suharto 2005).

Jimmu, (2008) menyatakan bahwa pengembangan masyarakat tidak hanya sebatas  teori tentang bagaimana mengembangkan daerah pedesaan tetapi memiliki arti yang  memungkinkan terjadinya perkembangan di tingkat masyarakat. Pembangunan masyarakat seharusnya mencerminkan tindakan masyarakat dan kesadaran atas identitas diri. Oleh karena itu, komitmen untuk pengembangan masyarakat harus mengenali keterkaitan antara individu dan masyarakat dimana mereka berada. Masyarakat adalah sebuah fenomena struktural dan bahwa sifat struktural dari kelompok atau masyarakat memiliki efek pada cara orang bertindak, merasa dan berpikir. Tapi  ketika kita melihat struktur tersebut, mereka jelas tidak seperti kualitas fisik dari dunia luar. Mereka bergantung pada keteraturan  reproduksi sosial, masyarakat yang hanya memiliki efek pada orang-orang sejauh struktur diproduksi dan direproduksi dalam apa yang orang lakukan. Oleh karena itu pengembangan masyarakat memiliki epistemologis logis dan yang  dasar dalam kewajiban sosial yang individu miliki terhadap masyarakat yang  mengembangkan bakat mereka.

Adedokun et all., (2010) menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif akan menimbulkan partisipasi aktif dari anggota masyarakat  dalam pengembangan masyarakat. Ia juga mengungkapkan bahwa ketika kelompok masyarakat yang terlibat dalam strategi komunikasi, membantu mereka mengambil kepemilikan inisiatif pembangunan masyarakat daripada melihat diri mereka sebagai penerima manfaat pembangunan. Berdasarkan temuan tersebut, direkomendasikan bahwa para pemimpin masyarakat serta agen pengembangan masyarakat harus terlibat dalam komunikasi yang jelas sehingga dapat meminta partisipasi anggota masyarakat dalam isu-isu pembangunannya.

Jimmu (2008) menunjukkan bahwa pengembangan masyarakat tidak hanya khususnya masalah ekonomi, teknis atau infrastruktur. Ini adalah masalah  pencocokan dukungan eksternal yang ditawarkan oleh agen pembangunan pedesaan dengan karakteristik internal sistem pedesaan itu sendiri. Oleh karena itu, agen pembangunan pedesaan  harus belajar untuk ‘menempatkan terakhir terlebih dahulu’ (Chambers, 1983 dalam Jimmu, 2008). Secara teori, peran  pemerintah pusat dan agen luar lainnya harus menginspirasi inisiatif lokal  bahwa hal itu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Passmore 1972 dalam Jimmu, 2008). Dalam prakteknya, top-down  perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan harus memberi jalan kepada  bottom-up atau partisipasi aktif masyarakat untuk mencapai apa yang disebut ‘pembangunan melalui negosiasi’. Hal ini sesuai Menurut Talcot Parsons (dalam Prijono, 1996:64-65) power merupakan sirkulasi dalam subsistem suatu masyarakat, sedangkan power dalam empowerment adalah daya sehingga empowerment dimaksudkan sebagai kekuatan yang berasal dari bawah (bottom-up).
Shucksmith, (2013) menyatakan pendekatan bottom-up untuk pembangunan pedesaan (‘didorong dari dalam’, atau kadang-kadang disebut endogen) berdasarkan pada asumsi bahwa  sumber daya spesifik daerah – alam, manusia dan  budaya – memegang kunci untuk perkembangannya. Sedangkan pembangunan pedesaan top-down melihat tantangan utamanya  sebagai mengatasi perbedaan pedesaan dan kekhasan melalui promosi keterampilan teknis universal dan modernisasi infrastruktur fisik. Pengembangan melihat tantangan utama sebagai memanfaatkan selisih melalui memelihara khas lokal kapasitas manusia dan lingkungan itu. Model bottom-up terutama menyangkut mobilisasi sumber daya lokal dan aset.  Artinya, masyarakat  pembangunan harus dianggap bukan sebagai teori pembangunan, tetapi praktek pembangunan yang menekankan emansipasi dari lembaga yang tidak pantas  dan setiap melemahkan situasi yang mengarah pada perias partisipasi, pengembangan masyarakat harus menjadi mekanisme untuk menarik kekuatan kolektif anggota masyarakat tertentu – yang terdiri dari laki-laki dan  perempuan, kaya dan miskin, mampu dan cacat, dll – untuk mengubah  di wilayah mereka.

Pemberdayaan ini memiliki tujuan dua arah, yaitu melepaskan belenggu  kemiskinan dan keterbelakangan dan memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Pemberdayaan  adalah  sebuah  proses  dan  tujuan.  Sebagai  proses,  pemberdayaan  adalah  serangkaian  kegiatan  untuk  memperkuat  kekuasaan  atau  keberdayaan  kelompok  lemah  dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan.  Sebagai  tujuan,  maka  pemberdayaan merujuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial;  yaitu  masyarakat  yang  berdaya,  memiliki  kekuasaan  atau  mempunyai  pengetahuan  dan  kemampuan  dalam  memenuhi  kebutuhan  hidupnya  baik  yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial seperti memiliki kepecayaan diri, mampu  menyampaikan  aspirasi,  mempunyai  mata  pencaharian,  berpartisipasi  dalam  kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya (Sipahelut, 2010).

Konsep pemberdayaan menurut Friedman (1992) dalam hal ini pembangunan alternatif menekankan keutamaan politik melalui otonomi pengambilan keputusan untuk melindungi kepentingan rakyat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, langsung melalui partisipasi, demokrasi dan pembelajaran sosial melalui pengamatan langsung. Menurut Chambers, (1995) pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centred, participatory, empowering, and sustainable”.

Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan, antara lain: pertama, kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi; dan kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi,mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog (Sumodiningrat, 2002).

Konsep pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Pearson et all, 1994 dalam Sukmaniar, 2007). Pemahaman mengenai konsep pemberdayaan tidak bisa dilepaskan dari pemahaman mengenai siklus pemberdayaan itu sendiri, karena pada hakikatnya pemberdayaan adalah sebuah usaha berkesinambungan untuk menempatkan masyarakat menjadi lebih proaktif dalam menentukan arah kemajuan dalam komunitasnya sendiri. Artinya program pemberdayaan tidak bisa hanya dilakukan dalam satu siklus saja dan berhenti pada suatu tahapan tertentu, akan tetapi harus terus berkesinambungan dan kualitasnya terus meningkat dari satu tahapan ke tahapan berikutnya (Mubarak, 2010).

Menurut Wilson (1996) terdapat 7 tahapan dalam siklus pemberdayaan masyarakat. Tahap pertama yaitu keinginan dari masyarakat sendiri untuk berubah menjadi lebih baik. Pada tahap kedua, masyarakat diharapkan mampu melepaskan halangan-halangan atau faktor-faktor yang bersifat resistensi terhadap kemajuan dalam dirinya dan komunitasnya. Pada tahap ketiga, masyarakat diharapkan sudah menerima kebebasan tambahan dan merasa memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan dirinya dan komunitasnya. Tahap keempat yaitu upaya untuk mengembangkan peran dan batas tanggung jawab yang lebih luas, hal ini juga terkait dengan minat dan motivasi  untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Pada tahap kelima ini hasil-hasil  nyata dari pemberdayaan mulai kelihatan, dimana peningkatan rasa memiliki yang  lebih besar menghasilkan keluaran kinerja yang lebih baik. Pada tahap keenam telah terjadi perubahan perilaku dan kesan terhadap dirinya, dimana keberhasilan dalam peningkatan kinerja mampu meningkatkan perasaan psikologis di atas posisi sebelumnya. Pada tahap ketujuh masyarakat yang telah berhasil dalam memberdayakan dirinya, merasa tertantang untuk upaya yang lebih besar guna  mendapatkan hasil yang lebih baik. Siklus pemberdayaan ini menggambarkan proses mengenai upaya individu dan komunitas untuk mengikuti perjalanan ke arah prestasi dan kepuasan individu dan pekerjaan yang lebih tinggi.

Apabila kita cermati dari serangkaian literatur tentang konsep-konsep Pemberdayaan Masyarakat maka konsep pemberdayaan adalah suatu proses yang diupayakan untuk melakukan perubahan. Pemberdayaan masyarakat memiliki makna memberi kekuatan/daya kepada kumpulan masyarakat yang berada pada kondisi ketidakberdayaan  agar menjadi berdaya dan mandiri serta memiliki kekuatan melalui proses dan tahapan yang sinergis.

2.2 Peranan Teori Pemberdayaan Masyarakat
Teori dalam praktek pemberdayaan masyarakat menggambarkan distribusi kekuasaan dan sumberdaya dalam masyarakat, bagaimana fungsi-fungsi organisasi dan bagaimana sistem dalam masyarakat mempertahankan diri. Teori di dalam pemberdayaan masyarakat mengandung hubungan sebab dan pengaruh yang harus dapat di uji secara empiris. Hubungan sebab dan akibat/outcome yang terjadi karena kejadian/aksi tertentu akan dapat memunculkan jenis intervensi yang dapat digunakan oleh pekerja sosial dalam memproduksi outcome. Dalam kerja sosial, kita dapat menggunakan teori untuk menentukan jenis aksi/kegiatan atau intervensi yang dapat digunakan untuk memproduksi outcome/hasil. Pada umumnya beberapa teori digabung untuk memproduksi model outcome.

1.      Teori Ketergantungan Kekuasaan (Power-Dependency)
Power merupakan kunci konsep untuk memahami proses pemberdayaan. Tujuan dari kekuasaan adalah untuk mencegah kelompok berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan juga untuk  memperoleh persetujuan pasif kelompok ini untuk situasi ini. Power merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari interaksi sosial. Kekuasaan adalah fitur yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial. Hal ini selalu menjadi bagian dari  hubungan, dan tanda-tanda yang dapat dilihat bahkan pada tingkat interaksi mikro (Sadan, 1997).

Lebih lanjut (Abbot, 1996:16-17) menyatakan bahwa pengembangan masyarakat perlu memperhatikan kesetaraan (equality), konflik dan hubungan pengaruh kekuasaan (power relations) atau jika tidak maka tingkat keberhasilannya rendah. Setelah kegagalan teori modernisasi muncul teori ketergantungan, dimana teori ketergantungan pada prinsipnya menggambarkan adanya suatu hubungan antar negara yang timpang, utamanya antara negara maju (pusat) dan negara pinggiran (tidak maju). Menurut Abbot (1996: 20) dari teori ketergantungan muncul pemahaman akan keseimbangan dan kesetaraan, yang pada akhirnya membentuk sebuah pemberdayaan (empowerment) dalam partisipasi masyarakat dikenal sebagai teori keadilan.

Pada konteks pemberdayaan maka teori ketergantungan dikaitkan dengan kekuasaan yang biasanya dalam bentuk kepemilikan uang/modal. Untuk mencapai suatu kondisi berdaya/kuat/mandiri, maka sekelompok masyarakat harus mempunyai keuangan/modal yang kuat. Selain uang/modal, maka ilmu pengetahuan/knowledge dan aspek people/sekumpulan orang/massa yang besar juga harus dimiliki agar kelompok tersebut mempunyai power. Kelompok yang memiliki power maka kelompok itu akan berdaya.

2.      Teori Sistem (The Social System)
Talcott Parsons (1991) melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.

Parsons (1991) menyampaikan tiga fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu: (a) Adaptasi, sebuah sistem hatus mampu menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. (b) Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. (c) Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.

Pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi. Apabila dimasukkan dalam aspek pemberdayaan masyarakat, maka teori sistem sosial ini mengarah pada salah satu kekuatan yang harus dimiliki kelompok agar kelompok itu berdaya yaitu memiliki sekumpulan orang/massa. Apabila kelompok itu memiliki massa yang besar dan mampu bertahan serta berkembang menjadi lebih besar maka kelompok itu dapat dikatakan berdaya.

3.      Teori Ekologi (Kelangsungan Organisasi)
Organisasi merupakan sesuatu yang telah melekat dalam kehidupan kita, karena kita adalah makhluk sosial. Kita hidup di dunia tidaklah sendirian, melainkan sebagai manifestasi makhluk sosial, kita hidup berkelompok, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Struktur organisasi merupakan kerangka antar hubungan satuan-satuan organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas serta wewenang yang masing-masing mempunyai peranan tertentu. Struktur organisasi akan tampak lebih tegas apabila dituangkan dalam  bentuk bagan organisasi.

Menurut  Lubis  dan  Husaini  (1987)  bahwa  teori  organisasi  adalah  sekumpulan ilmu pengetahuan  yang membicaraan mekanisme kerjasama dua  orang  atau  lebih  secara  sistematis  untuk  mencapai  tujuan  yang  telah  ditentukan.  Teori  organisasi  merupakan  sebuah  teori  untuk  mempelajari  kerjasama  pada  setiap  individu.  Hakekat  kelompok  dalam  individu  untuk  mencapai tujuan beserta cara-cara yang ditempuh dengan menggunakan teori yang dapat menerangkan tingkah  laku, terutama motivasi, individu dalam proses kerjasama. Pada teori ekologi, membahas tentang organisasi sebagai wadah untuk sekumpulan masyarakat dengan tujuan yang sama agar tertatur, jelas, dan kuat. Orientasi organisasi mengacu pada sekumpulan orang/massa yang harus dimiliki kelompok untuk dapat memiliki power/daya. Kelompok yang memiliki organisasi dengan kuat dan berkelanjutan maka kelompok ini dikatakan berdaya.
4.      Teori Konflik
Konflik akan selalu muncul dan akan selalu dapat ditemukan dalam semua level kehidupan masyarakat. Dalam interaksi, semua pihak bersinggungan dan sering malahirkan konflik. Dalam konteks demikian, konflik didefinisikan bukan dari aspek para pelaku konflik tetapi merupakan sesuatu yang given dalam interaksi sosial. Malah konflik menjadi motor pergaulan yang selalu melahirkan dinamika dalam masyarakat. Dikenal beberapa pendekatan teoritis untuk menjelaskan konflik sebagai kenyataan sosial. Diantaranya pendekatan ketimpangan dalam dunia ekonomi yang menjelaskan bahwa munculnya konflik dikarenakan ketidakseimbangan antara permintaan dan ketersediaan yang menciptakan kelangkaan. Sementara di sisi lain, individu bersifat individualis, mementingkan diri sendiri untuk mendapatkan surplus yang ada. Adanya kesamaan antara individu membuka peluang terjadinya perebutan pada satu komoditi dan sebaliknya juga membuka kerjasama di antara para pelaku (Chalid, 2005).

Pada proses pemberdayaan yang dilakukan di suatu lingkungan sosial (masyarakat) akan sangat sering menemui konflik. Konflik yang terjadi berkaitan erat dengan ketidakpercayaan dan adanya perubahan kepada mereka. Perubahan terhadap kebiasaan, adat istiadat dan berbagai norma sosial yang sudah tertanam sejak lama di dalam masyarakat. Hal ini sesuai pendapat Stewart, 2005 dalam Chalid (2005) Terdapat tiga model penjelasan yang dapat dipakai untuk menganalisis kehadiran konflik dalam kehidupan masyarakat, pertama penjelasan budaya, kedua, penjelasan ekonomi, ketiga penjelasan politik. Perspektif budaya menjelaskan bahwa konflik dalam masyarakat diakibatkan oleh adanya perbedaan budaya dan suku. Dalam sejarah, konflik cenderung seringkali terjadi karena persoalan perbedaan budaya yang melahirkan penilaian stereotip. Masing-masing kelompok budaya melihat sebagai anggota atau bagian dari budaya yang sama dan melakukan pertarungan untuk mendapatkan otonomi budaya. Terdapat perdebatan tentang pendekatan primordial terhadap realitas konflik. Sebagian antropolog ada yang menerima dan sebagian menolak. Argumentasi kalangan yang menolak beralasan bahwa terdapat masalah serius bila hanya menekankan penjelasan konflik dari aspek budaya semata. Pendekatan budaya tidak memasukkan faktor-faktor penting dari aspek sosial dan ekonomi.

5.      Teori Mobilisasi Sumberdaya
Jasper, (2010) menyatakan gerakan sosial terdiri dari individu-individu dan  interaksi di antara anggota suatu masyarakat. Pendekatan  pilihan rasional menyadari akan hal ini, tetapi versi mereka memperhitungkan individu sebagai abstrak untuk menjadi realistis. Pragmatisme, feminisme, dan yang  terkait dengan berbagai tradisi yang mendorong lahirnya studi tentang aksi-aksi individu (individual action) dan aksi-aksi kolektif (collective action) sejak tahun 1960-an, yakni  penelitian tentang perlawanan (social resistence), gerakan sosial (social movement) dan tindakan kolektif (collective behavior) berkembang di bawah inspirasi dari teori-teori besar tersebut. Dua dari mereka di antaranya dipengaruhi oleh pandangan Marxisme, terutama sosiologi makro versi Amerika yang  menekankan teori mobilisasi sumber daya (resource mobilization theory) dan interaksi dengan negara.

Rusmanto, (2013) menyimpulkan bahwa untuk mengetahui keinginan seseorang akan sangat terkait dengan tujuan di akhir orang tersebut. Seseorang dari pertanyaan tersebut  mengarah kepada sebuah tujuan. Dalam hal ini, maka tujuan adalah pusat pendekatan yang strategis sebagai taktik, meskipun dalam pemahaman umum, telah keliru memahami bahwa strategi merupakan instrumen tujuan yang bersifat sementara mencerminkan budaya dan  emosi. Pada konteks pemberdayaan masyarakat maka teori mobilisasi menjadi salah satu dasar yang kuat, karena untuk menjadi seorang atau kelompok masyarakat yang berdaya/memiliki power selain uang, knowledge maka people juga mempunyai peranan yang penting. Kumpulan orang akan memberikan kekuatan, kekuatan itu akan memberikan power pada orang atau masyarakat itu.

6.      Teori Kontstruktivis (Constructivist)
Glasersfeld  (1987)  menyatakan konstruktivisme  sebagai  “teori  pengetahuan  dengan  akar  dalam  “filosofi,  psikologi  dan  cybernetics”.  Von  Glasersfeld  mendefinisikan  konstruktivisme radikal selalu membentuk konsepsi pengetahuan. Ia melihat pengetahuan sebagai sesuatu hal yang dengan aktif menerima apapun  melalui  pikiran sehat atau melalui komunikasi. Hal itu secara aktif terutama dengan  membangun  pengetahuan.  Kognisi adalah  adaptif  dan  membiarkan  sesuatu  untuk  mengorganisir pengalaman dunia itu, bukan untuk menemukan suatu tujuan kenyataan. Konstruktivisme pada dasarnya adalah suatu pandangan  yang didasarkan  pada aktivitas siswa dengan untuk menciptakan, menginterpretasikan, dan  mereorganisasikan pengetahuan dengan jalan individual (Windschitl, dalam  Abbeduto,  2004).

Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting.

Pada proses pemberdayaan masyarakat pendekatan teori belajar secara konstruktivis perlu ditanamkan dan diupayakan agar masyarakat mampu menkonstruksi pemahaman untuk berubah. Pemberdayaan masyarakat hendaknya tetap mempertahankan nilai-nilai yang sudah melekat di masyarakat selama nilai tersebut baik dan benar. Nilai-nilai kebersamaan, keikhlasan, gotong-royong, kejujuran, kerja keras harus dibangun dan dikonstruksikan sendiri oleh masyarakat untuk menciptakan perubahan agar lebih berdaya. Keterkaitan dengan konsep pemberdayaan maka aspek ilmu (knowledge) yang ada di dalam masyarakat perlu dibangun dengan kuat dan di kontruksikan di dalam masyarakat itu sendiri.

2.3 Proses Pemberdayaan Masyarakat
Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu:  
  1. Mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan).
  2. Mampu mengarahkan dirinya sendiri.
  3. Memiliki kekuatan untuk berunding.
  4. Memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan 
  5. Bertanggungjawab atas tindakannya.
Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.

2.4 Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat
Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggungjawab utama dalam program pembangunan melalui pendekatan pemberdayaan adalah masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama, kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan.

Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki.
Daya/kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material. Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas pembangunan.

Adapun tujuan pemberdayaan masyarakat dapat diuraikan sebagai berikut: Upaya pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk membuat masyarakat menjadi mandiri, dalam arti memiliki potensi untuk mampu memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi, dan sanggup memenuhi kebutuhannya dengan tidak menggantungkan hidup mereka pada bantuan pihak luar, baik pemerintah maupun organisasi-organisasi non-pemerintah. Bantuan technical assistance jelas mereka perlukan, akan tetapi bantuan tersebut harus mampu membangkitkan prakarsa masyarakat untuk membangun bukan sebaliknya justru mematikan prakarsa. Dalam hubungan ini, kita dituntut menghargai hak-hak masyarakat yaitu Right of Self - Determination dan Right for Equal Opportunity. Hak untuk menentukan sendiri untuk memilih apa yang terbaik bagi masyarakat, serta hak untuk memperoleh kesempatan yang sama untuk berkembang sesuai dengan potensi-potensi yang mereka miliki.











BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya tentang pemberdayaan masyarakat maka kami menarik kesimpulan bahwa konsep pemberdayaan adalah sebuah proses berkelanjutan yang mengupayakan transfer kekuasaan yang didasari penguatan modal sosial, kepercayaan (trust), patuh aturan (role), dan jaringan (networking), disambut partisipasi dan komunikasi aktif dengan metode bottom-up yang dilandasi sikap saling percaya dari masyarakat untuk mengubah dan mementukan nasibnya untuk pencapaian suatu tujuan tertentu (kesejahteraan ekonomi).

Dalam konteks pemberdayaan, paradigma memiliki peran untuk membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat suatu masalah, apa yang kita anggap sebagai masalah ketidakberdayaan itu, apa masalah yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta metode apa yang kita gunakan untuk meneliti dan melakukan intervensi atas masalah tersebut. Begitu juga paradigma akan mempengaruhi apa yang tidak kita pilih, apa yang tidak ingin kita lihat, dan apa yang tidak ingin kita ketahui. Paradigma pula yang akan mempengaruhi pandangan seseorang mengenai apa yang ‘adil dan tidak adil’, baik-buruk, tepat atau tidaknya suatu program dalam memecahkan masalah sosial.

Teori dalam praktek pemberdayaan masyarakat menggambarkan distribusi kekuasaan dan sumberdaya dalam masyarakat, bagaimana fungsi-fungsi organisasi dan bagaimana sistem dalam masyarakat mempertahankan diri. Teori pemberdayaan masyarakat yang digunakan dalam proses pemberdayan antara lain: Teori Ketergantungan Kekuasaan, Teori Sistem, Teori Ekologi, Teori Konflik, Teori mobilisasi Sumberdaya, dan Teori Konstruktivis.


Upaya pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk membuat masyarakat menjadi mandiri, dalam arti memiliki potensi untuk mampu memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi, dan sanggup memenuhi kebutuhannya dengan tidak menggantungkan hidup mereka pada bantuan pihak luar, baik pemerintah maupun organisasi-organisasi non-pemerintah. Dalam hubungan ini, kita dituntut menghargai hak-hak masyarakat yaitu Right of Self - Determination and Right for Equal Opportunity.

DAFTAR PUSTAKA

Adedokun, O.M. C.W, Adeyamo, and E.O. Olorunsula. 2010. The Impact of Communication on Community Development. J Communication, 1(2): 101-105.
Chalid, Pheni. 2005. Otonomi Daerah Masalah, Pemberdayaan dan Konflik. Penebar Swadaya. Cetakan pertama. Jakarta.
                Chambers, R. 1985. Rural Development : Putting The Last First. New York.
Foy, Nancy. 1994. Empowering People at Work. London: Grower Publishing Company.
                Friedman, John. 1992. Empowerment The Politics of Alternative Development. Blackwell Publishers, Cambridge, USA.
                Glasserfield, E. (1987). A Constructivist Approach to Teaching. In L. Steffe & J. Gale (Eds.), Constructivism In Education. Hillsdale, NJ, Lawrence Erlbaum. (pp. 3-16).
                Ife, J.W. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives-vision, Analysis and Practice. Melbourne: Longman.
Jasper, James M. 2010. Social  Movement  Theory  Today:  Toward  a  Theory  of  Action? Graduate Center of the City University of New York.
Jimmu, M.I. 2008. Community Development: A Cross-Examination of Theory and Practice Using Experiences in Rural Malawi. Africa Development, Vol. XXXIII, No. 2, 2008, pp. 23–3.
Koentjaraningrat. 2009: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambangan. Jakarta. Longman.
Lubis, Hari & Huseini, Martani.1987. Teori Organisasi; Suatu Pendekatan Makro. Pusat Antar Ilmu-ilmu Sosial UI: Jakarta.
                Mubarak, Z. 2010. Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat Ditinjau Dari Proses Pengembangan Kapasitas Pada Program PNPM Mandiri Perkotaan Di Desa Sastrodirjan Kabupaten Pekalongan.Tesis.Program Studi Magister Teknik Pemberdayaan Wilayah Dan Kota. Undip. Semarang.
                Pearsons, Talcot. 1991. The Social System. Routledge is an imprint of Taylor & Francis, an informa company.
                Prijono, Onny S. dan Pranarka A.M.W. (ed.). 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International  Studies (CSIS).
                Rusmanto, Joni. 2013. Gerakan Sosial Sejarah Perkembangan Teori Kekuatan dan Kelemahannya. Zifatama Publishing. Sidoarjo.
                Sadan, Elisheva. 1997. Empowerment and Community Planning: Theory and Practice of People-Focused Social Solutions. Tel Aviv: Hakibbutz Hameuchad Publishers.in Hebrew.
                Shucksmith, Mark. 2013. Future Direction in Rural Development. Carnegie UK Trust. England.
                Soetomo. 2006. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Suharto  E.  2005.  Membangun  Masyarakat Memberdayakan  Rakyat.  Kajian  Strategi  Pembangunan  Kesejahteraan  Sosial  dan  Pekerjaan  Sosial.  Bandung: PT Refika Aditama.

3 komentar:

Unknown mengatakan...

izin ngutip gan/sis

Unknown mengatakan...

Kak izin copas yaa

Musytaq mengatakan...

Maaf kalo boleh tahu siapa penulisnya yah ?

Posting Komentar

 
Copyright © 2016. Ngerjain Tugas Yuk... . All Rights Reserved
Home | Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Site map
Design by Nugas Melulu . Published by White Simple