BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan menurut
arti secara bahasa adalah proses, cara, perbuatan membuat berdaya, yaitu
kemampuan untuk melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak yang berupa akal,
ikhtiar atau upaya (Depdiknas, 2003). Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia
yang berinteraksi menurut suatu sistem
adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa
identitas bersama (Koentjaraningrat, 2009). Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan.
Dalam perspektif pembangunan ini, disadari betapa penting kapasitas manusia
dalam upaya meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal atas sumber daya
materi dan non material.
Dalam beberapa kajian
mengenai pembangunan komunitas, pemberdayaan masyarakat sering dimaknai sebagai
upaya untuk memberikan kekuasaan agar suara mereka didengar guna memberikan kontribusi
kepada perencanaan dan keputusan yang mempengaruhi komunitasnya (Foy, 1994).
Pemberdayaan adalah proses transisi dari keadaan ketidakberdayaan ke keadaan
kontrol relatif atas kehidupan seseorang, takdir, dan lingkungan (Sadan, 1997). Menurut Mubarak (2010) pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai upaya untuk memulihkan atau meningkatkan kemampuan suatu komunitas untuk mampu berbuat
sesuai dengan harkat dan martabat mereka dalam melaksanakan
hak-hak dan tanggung jawabnya selaku anggota masyarakat.
Pada pemberdayaan pendekatan proses lebih memungkinkan pelaksanaan pembangunan yang
memanusiakan manusia. Dalam pandangan
ini pelibatan masyarakat dalam pembangunan lebih mengarah kepada bentuk
partisipasi, bukan dalam bentuk mobilisasi. Partisipasi masyarakat dalam
perumusan program membuat masyarakat
tidak semata-mata berkedudukan sebagai
konsumen program, tetapi juga sebagai produsen karena telah ikut serta terlibat dalam proses pembuatan dan
perumusannya, sehingga masyarakat merasa ikut memiliki program tersebut dan
mempunyai tanggung jawab bagi keberhasilannya serta memiliki motivasi yang lebih bagi
partisipasi pada tahap-tahap
berikutnya (Soetomo, 2006).
Robinson (1994) menjelaskan bahwa
pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan
pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Sedangkan Ife (1995)
mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment” yang berarti memberi daya, memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang
kurang berdaya.
1.2
Sejarah Kemunculan Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Empowerment, atau
pemberdayaan adalah sebuah konsep yang lahir
sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran dan kebudayaan masyarakat Barat, terutama Eropa. Konsep ini muncul sejak dekade 70-an dan
kemudian terus berkembang sampai saat ini. Kemunculannya
hampir bersamaan dengan aliran-aliran seperti
eksistensialisme, phenomenologi, personalisme
dan kemudian lebih dekat dengan gelombang Neo-Marxisme, freudianisme, strukturalisme, dan sosiologi kritik Frankfurt School.
Bersamaan itu juga muncul konsep-konsep elit, kekuasaan, anti-establishment, gerakan populis,
anti-struktur, legitimasi, ideologi pembebasan dan civil
society. Konsep pemberdayaan juga dapat dipandang sebagai bagian dari aliran-aliran paruh
abad ke-20, atau yang dikenal dengan
aliran post-modernisme, dengan penekanan sikap
dan pendapat yang orientasinya
adalah anti-sistem, anti-struktur,
dan anti-determinisme, yang
diaplikasikan pada dunia kekuasaan.
Diawali pada akhir
tahun 1960-an,
para ahli menyadari bahwa pertumbuhan
ekonomi tidak langsung terkait dengan tujuan pembangunan yang lain seperti penciptaan lapangan
kerja, penghapusan kemiskinan dan kesenjangan,
serta peningkatan pemenuhan kebutuhan dasar. Bahkan dibeberapa negara seperti
Iran, Kenya, Meksiko, Nikaragua, Pakistan dan Afrika
Selatan yang pencapaian pertumbuhan ekonominya tinggi, justru muncul masalah ‘maldevelopment’. Pada
kenyataannya, pertumbuhan ekonomi
tidak mengurangi kemiskinan dan tidak menciptakan pertumbuhan
lapangan pekerjaan sebagaimana diprediksikan, bahkan dalam beberapa kasus kesenjangan ekonomi
justru meningkat. Pada tahun 1970,
sejumlah 944 juta orang, atau 52 persen dari total penduduk Negara Selatan masih hidup dibawah garis
kemiskinan. Data juga menunjukkan adanya
peningkatan jumlah pengangguran, terutama dibidang pertanian dan peningkatan
kesenjangan pendapatan. Tahun
1970-an benar-benar merupakan periode dimana pertumbuhan
ekonomi di Negara berkembang
diikuti dengan meningkatnya kesenjangan.
Permasalahan ‘maldevelopment’ sebagaimana dijelaskan,
memunculkan beberapa
pandangan yang berbeda. Perbedaan tersebut dilandasi oleh paradigma atau cara pandang yang sangat
berpengaruh terhadap teori-teori yang
digunakan sebagai alat analisis atas realitas sosial. Teori mencakup empat fungsi dasar yaitu: penjelasan,
prediksi, kontrol dan pengelolaan perubahan.
Pemberdayaan masyarakat adalah praktek berdasarkan empat fungsi tersebut: menggambarkan kejadian;
menjelaskan sebab-sebab kejadian
tersebut; memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya (termasuk apa yang akan terjadi apabila
dilakukan intervensi atau tidak dilakukan
intervensi); dan berusaha untuk mengelola dan mengontrol terhadap perubahan pada semua level
aktifitas masyarakat.
Menurut Fakih, salah
satu dari banyak hal yang mempengaruhi terbentuknya
sebuah teori adalah apa yang disebut sebagai paradigma. Pembahasan mengenai paradigma ini perlu
dilakukan mengingat pentingnya
pengaruh paradigma terhadap teori dan analisis atas realitas sosial, karena pada dasarnya tidak ada
satu pandangan atau satu teori sosial
pun yang bersifat netral dan objektif, melainkan bergantung terhadap paradigma yang digunakan. Thomas Kuhn
dalam bukunya “The Structure of Scientific Revolution”
menjelaskan bahwa suatu aliran ilmu lahir dan berkembang
sebagai proses revolusi paradigma, dimana suatu pandangan teori ditumbangkan oleh
pandangan teori yang baru. Paradigma diartikan sebagai
satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan sebuah teori.
Dalam konteks
pemberdayaan, paradigma memiliki peran untuk membentuk
apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat suatu masalah, apa yang kita anggap sebagai masalah
ketidakberdayaan itu, apa masalah yang
kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta metode apa yang kita gunakan untuk meneliti dan melakukan
intervensi atas masalah tersebut. Begitu
juga paradigma akan mempengaruhi apa yang tidak kita pilih, apa yang tidak ingin kita lihat, dan apa
yang tidak ingin kita ketahui. Paradigma pula
yang akan mempengaruhi pandangan seseorang mengenai apa yang ‘adil dan tidak adil’, baik-buruk, tepat
atau tidaknya suatu program dalam memecahkan
masalah sosial. Dalam
konteks ini, Freire menjelaskan
klasifikasi ideologi teori social yang terbagi kedalam tiga kesadaran yaitu:
kesadaran magis (magical consciousness);
kesadaran naif (naival consciousness); dan kesadaran kritis (critical
consciousness).
Pertama, kesadaran
magis yaitu suatu keadaan kesadaran
yang tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran magis lebih mengarahkan penyebab masalah dan ketidakberdayaan
masyarakat dengan faktor-faktor diluar manusia, baik natural maupun supranatural. Dalam teori perubahan sosial, apabila proses
analisis sebuah teori tidak mampu mengaitkan
antara sebab dan musabab suatu masalah sosial, teori tersebut disebut sebagai teori sosial fatalistik.
Suatu teori sosial bisa dikategorikan dalam
model ini jika teori yang dimaksud tidak memberikan kemampuan analisis dan kaitan antara sistem dan
struktur terhadap masalah sosial. Masyarakat
secara dogmatik menerima kebenaran dari teoretisi sosial tanpa ada mekanisme untuk memahami
makna ideologi setiap konsepsiatas kehidupan masyarakat.
Dalam konteks
masyarakat, orang yang memahami masalah sosial
dengan menggunakan kesadaran magis ini akan melihat bahwa kemiskinan dan ketidakberdayaan
masyarakat merupakan takdir atau ketetapan
dari Tuhan. Hanya Tuhan yang Maha Tahu apa arti dan hikmah dibalik ketentuan tersebut. Makhluk,
termasuk umat
tidak tahu tentang gambaran
besar skenario Tuhan akan perjalanan umat manusia. Bagi mereka, masalah kemiskinan dan
marginalisasi tidak ada kaitannya dengan
globalisasi dan modernisasi, bahkan sering dianggap sebagai ‘ujian’ atas keimanan dan kita tidak tahu
manfaat dan mudaratnya, malapetaka apa yang dibalik kemajuan dan pertumbuhan
serta globalisasi bagi umat-umat
manusia dan lingkungan di masa
mendatang. Pandangan didasarkan pada
teologi mengenai predeterminism atau takdir, yakni ketentuan dan rencana Tuhan jauh sebelum alam
diciptakan.
Kedua, kesadaran naif,
yang melihat ‘aspek manusia’ sebagai akar penyebab
masalah dalam masyarakat. Dalam
kesadaran ini, masalah etika,
kreatifitas dan ‘need for achievement’
dianggap sebagai penentu dalam
perubahan sosial. Jadi,
dalam menganalisis kemiskinan mereka berpendapat
bahwa masyarakat miskin karena kesalahan mereka sendiri, yakni karena mereka malas, tidak
memiliki jiwa kewiraswastaan, atau tidak
memiliki budaya pembangunan dan seterusnya. Oleh karena itu, man
power development adalah
sebuah jalan keluar yang diharapkan dapat memicu
perubahan. Teori perubahan
dalam konteks ini adalah teori yang tidak
mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada dianggap sudah baik dan benar,
merupakan faktor given dan karena itu tidak perlu dipertanyakan.
Tugas teori sosial adalah bagaimana membuat
dan mengarahkan agar masyarakat bisa beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut. Paradigma inilah yang dikategorikan sebagai perubahan yang bersifat
reformatif.
Masyarakat yang
memiliki kesadaran ini pada dasarnya sepaham
dengan pikiran modernisasi sekuler mengenai kemiskinan dan ketidakberdayaan. Mereka percaya bahwa
masalah yang dihadapi kaum miskin
berakar dari persoalan karena ada yang salah dengan sikap mental, budaya, ataupun teologi mereka. Kemiskinan umat tidak ada sangkut pautnya dengan menguatnya paham
neloliberalisme maupun globalisasi. Mereka
menyerang teologi fatalistik sebagai penyebabnya. Kesadaran ini memiliki pendekatan dan
analisis yang sama dengan penganut
paham modernisasi sekuler yang menjadi aliran mainstream pembangunan.
Menurut mereka, kemiskinan yang terjadi di Indonesia karena mereka tidak mampu berpartisipasi
secara aktif dalam proses pembangunan
dan globalisasi. Oleh karena itu, mereka cenderung melihat nilai-nilai (values) sikap mental, kreativitas, budaya dan paham teologi sebagai pokok permasalahan, dan tidak
melihat struktur kelas, gender dan
sosial sebagai pembentuk nasib masyarakat. Bagi mereka, masyarakat harus berpartisipasi
dan mampu bersaing dalam proses industrialisasi dan
globalisasi serta proses pembangunan. Mereka tidak mempersoalkan globalisasi dan pembangunan itu sendiri
sepanjang diterapkan melalui pendekatan
dan metodologi yang benar, serta dikelola oleh pemerintahan yang bersih (Sri Widayanti, Pemberdayaan Masyarakat: Pendekatan
Teoritis).
Bagi penganut paham
ini, permasalahan globalisasi lebih pada sejauh mana
mereka mampu menyiapkan sumber daya manusia yang cocok dan dapat bersaing dalam sistem pasar bebas.
Dalam menghadapi tantangan globalisasi
kapitalisme dan menguatnya liberalisme, para intelektual yang memiliki kesadaran naïf ini justru
menggali ajaran-ajaran agama
yang sesuai dengan modernisasi dan
liberalisme, melakukan penafsiran ulang atas
ajaran-ajaran agama yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman, tanpa mempersoalkan secara mendasar
masalah yang diakibatkan oleh neoliberalisme.
Ketiga, kesadaran
kritis, yaitu paradigma yang lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber
masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih menganalisis secara kritis
struktur dan sistem sosial,
politik, ekonomi dan budaya dan bagaimana keterkaitan aspek-aspek tersebut berakibat pada
keadaan masyarakat. Paradigma kritis dalam perubahan sosial memberikan ruang
bagi masyarakat untuk mampu
mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis
bagaimana sistem dan struktur tersebut
bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas teori sosial dalam paradigma kritis adalah
menciptakan ruang dan kesempatan agar
masyarakat terlibat dalam suatu proses dialog ‘penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih
baik atau lebih adil’. Kesadaran ini
disebut sebagai kesadaran transformatif. Masyarakat yang memiliki kesadaran ini percaya
bahwa ketidakberdayaan masyarakat, termasuk
masyarakat muslim disebabkan oleh
ketidakadilan sistem dan struktur ekonomi, politik, dan budaya. Bagi mereka, agenda yang harus dilakukan
adalah melakukan transformasi terhadap
struktur melalui penciptaan relasi yang secara fundamental lebih baik dan lebih adil dalam bidang
ekonomi, politik dan budaya. Mereka menyadari
bahwa transformasi meliputi proses panjang penciptaan ekonomi yang tidak eksploitatif, politik
tanpa represi dan kultur tanpa hegemoni,
serta penghargaan terhadap Hak
Asasi Manusia.
Dengan mendasarkan pada prinsip keadilan, fokus kerja kaum
ini adalah mencari akar teologi, metodologi
dan aksi yang memungkinkan terjadinya transformasi sosial. Keberpihakan mereka terhadap kaum miskin
dan tertindas tidak hanya
diilhami oleh sumber-sumber ajaran agama, tetapi juga didasarkan pada analisis kritis terhadap struktur
yang ada. Agama
bagi mereka dipahami sebagai
pembebasan bagi yang tertindas, serta mentransformasikan sistem eksploitasi menjadi sistem yang
adil. Globalisasi, serta berbagai proyek kapitalisme yang lain bagi golongan
ini menjadi salah satu penyebab yang
memiskinkan, memarginalisasi dan mengalienasi masyarakat. Selain usaha praktis untuk membantu memecahkan
persoalan ekonomi, politik, dan
budaya keseharian melalui proyek-proyek pengembangan ekonomi berbasis masyarakat, mereka juga
mengaitkannya dengan melakukan advokasi
untuk mempengaruhi kebijakan Negara baik di level nasional maupun lokal yang memarginalkan kaum
miskin dan pinggiran.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Istilah konsep berasal
dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu yang dipahami. Konsep merupakan
abstraksi suatu ide atau gambaran mental, yang dinyatakan dalam suatu kata atau
simbol. Secara konseptual, pemberdayaan atau
pemberkuasaan (empowerment), berasal
dari kata power yang berarti kekuasaan atau keberdayaan. Konsep pemberdayaan berawal dari
penguatan modal sosial di
masyarakat (kelompok) yang meliputi penguatan penguatan modal sosial. Apabila kita sudah memiliki modal
sosial yang kuat
maka kita akan mudah mengarahkan dan mengatur (direct) masyarakat serta mudah mentransfer pengetahuan kepada masyarakat.
Dengan memiliki modal sosial
yang kuat maka kita akan dapat menguatkan knowledge,
modal (money), dan people. Konsep ini mengandung arti bahwa
konsep pemberdayaan masyarakat adalah transfer kekuasaan melalui penguatan modal
sosial kelompok
untuk menjadikan kelompok produktif untuk mencapai kesejahteraan sosial. Modal sosial yang kuat akan menjamin suistainable dalam membangun rasa
kepercayaan di dalam masyarakat khususnya anggota kelompok (how to build the
trust).
Oleh karena itu, ide
utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai modal soaial dan
kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dan dihubungkan dengan kemampuan
individu untuk membuat individu melakukan apa yang diinginkan, terlepas dari
keinginan dan minat mereka. Pada
dasarnya, pemberdayaan diletakkan
pada kekuatan tingkat
individu dan sosial (Sipahelut,
2010). Pemberdayaan merujuk pada
kemampuan orang, khususnya
kelompok rentan dan lemah
sehingga mereka memiliki kekuatan atau
kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan
dasarnya sehingga mereka
memiliki kebebasan (freedom), dalam
arti bukan saja
bebas dalam mengemukakan
pendapat, melainkan bebas
dari kelaparan, bebas
dari kebodohan, bebas
dari kesakitan; (b)
menjangkau sumber-sumber produktif
yang memungkinkan mereka
dapat meningkatkan pendapatannya
dan memperoleh barang-barang
dan jasa-jasa yang
mereka perlukan; dan (c)
berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan keputusan yang
mempengaruhi mereka (Suharto 2005).
Jimmu, (2008)
menyatakan bahwa pengembangan masyarakat tidak hanya sebatas teori tentang bagaimana mengembangkan daerah
pedesaan tetapi memiliki arti yang memungkinkan terjadinya perkembangan di
tingkat masyarakat. Pembangunan masyarakat seharusnya mencerminkan tindakan
masyarakat dan kesadaran atas identitas diri. Oleh karena itu, komitmen untuk
pengembangan masyarakat harus mengenali keterkaitan antara individu dan
masyarakat dimana mereka berada. Masyarakat adalah sebuah fenomena struktural dan
bahwa sifat struktural dari kelompok atau masyarakat memiliki efek pada cara
orang bertindak, merasa dan berpikir. Tapi
ketika kita melihat struktur tersebut, mereka jelas tidak seperti
kualitas fisik dari dunia luar. Mereka bergantung pada keteraturan reproduksi sosial, masyarakat yang hanya
memiliki efek pada orang-orang sejauh struktur diproduksi dan direproduksi
dalam apa yang orang lakukan. Oleh karena itu pengembangan masyarakat memiliki
epistemologis logis dan yang dasar dalam
kewajiban sosial yang individu miliki terhadap masyarakat yang mengembangkan bakat mereka.
Adedokun et all., (2010) menunjukkan bahwa
komunikasi yang efektif akan
menimbulkan partisipasi aktif dari anggota masyarakat dalam pengembangan masyarakat. Ia juga
mengungkapkan bahwa ketika kelompok masyarakat yang terlibat dalam strategi
komunikasi, membantu mereka mengambil kepemilikan inisiatif pembangunan
masyarakat daripada melihat diri mereka sebagai penerima manfaat pembangunan.
Berdasarkan temuan tersebut, direkomendasikan bahwa para pemimpin masyarakat
serta agen pengembangan masyarakat harus terlibat dalam komunikasi yang jelas
sehingga dapat meminta partisipasi anggota masyarakat dalam isu-isu
pembangunannya.
Jimmu (2008) menunjukkan bahwa pengembangan
masyarakat tidak hanya
khususnya masalah ekonomi, teknis atau infrastruktur. Ini adalah masalah pencocokan dukungan eksternal yang ditawarkan
oleh agen pembangunan pedesaan dengan karakteristik internal sistem pedesaan
itu sendiri. Oleh karena itu, agen pembangunan pedesaan harus belajar untuk ‘menempatkan terakhir
terlebih dahulu’ (Chambers, 1983 dalam Jimmu, 2008).
Secara teori, peran pemerintah pusat dan
agen luar lainnya harus menginspirasi inisiatif lokal bahwa hal itu meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(Passmore 1972 dalam Jimmu, 2008).
Dalam prakteknya, top-down perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek
pembangunan harus memberi jalan kepada bottom-up atau partisipasi aktif
masyarakat untuk mencapai apa yang disebut ‘pembangunan melalui negosiasi’. Hal
ini sesuai Menurut Talcot Parsons (dalam Prijono, 1996:64-65) power merupakan
sirkulasi dalam subsistem suatu masyarakat, sedangkan power dalam empowerment adalah
daya sehingga empowerment dimaksudkan
sebagai kekuatan yang berasal dari bawah (bottom-up).
Shucksmith, (2013)
menyatakan pendekatan bottom-up untuk
pembangunan pedesaan (‘didorong dari dalam’, atau kadang-kadang disebut
endogen) berdasarkan pada asumsi bahwa
sumber daya spesifik daerah – alam, manusia dan budaya – memegang kunci untuk
perkembangannya. Sedangkan pembangunan pedesaan top-down melihat tantangan utamanya
sebagai mengatasi perbedaan pedesaan dan kekhasan melalui promosi keterampilan
teknis universal dan modernisasi infrastruktur fisik. Pengembangan melihat tantangan utama
sebagai memanfaatkan selisih
melalui memelihara khas lokal kapasitas manusia dan lingkungan itu. Model bottom-up terutama menyangkut mobilisasi
sumber daya lokal dan aset. Artinya,
masyarakat pembangunan harus dianggap
bukan sebagai teori pembangunan, tetapi praktek pembangunan yang menekankan
emansipasi dari lembaga yang tidak pantas
dan setiap melemahkan situasi yang mengarah pada perias partisipasi,
pengembangan masyarakat harus menjadi mekanisme untuk menarik kekuatan kolektif
anggota masyarakat tertentu – yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin, mampu dan cacat,
dll – untuk mengubah di wilayah mereka.
Pemberdayaan ini
memiliki tujuan dua arah, yaitu melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan dan memperkuat
posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Pemberdayaan adalah
sebuah proses dan
tujuan. Sebagai proses,
pemberdayaan adalah serangkaian
kegiatan untuk memperkuat
kekuasaan atau keberdayaan
kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu
yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan,
maka pemberdayaan merujuk pada
keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu
masyarakat yang berdaya,
memiliki kekuasaan atau
mempunyai pengetahuan dan
kemampuan dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya baik
yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial seperti memiliki kepecayaan
diri, mampu menyampaikan aspirasi,
mempunyai mata pencaharian,
berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam
melaksanakan tugas-tugas kehidupannya (Sipahelut, 2010).
Konsep pemberdayaan
menurut Friedman (1992) dalam hal ini pembangunan alternatif menekankan
keutamaan politik melalui otonomi pengambilan keputusan untuk melindungi
kepentingan rakyat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, langsung melalui
partisipasi, demokrasi dan pembelajaran sosial melalui pengamatan langsung. Menurut Chambers, (1995)
pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum
nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centred, participatory, empowering, and sustainable”.
Jika dilihat dari
proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan,
antara lain: pertama, kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu
menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun
asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui
organisasi; dan kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang
menekankan pada proses memberikan stimulasi,mendorong atau memotivasi individu
agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi
pilihan hidupnya melalui proses dialog (Sumodiningrat, 2002).
Konsep pemberdayaan menekankan bahwa orang
memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk
mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya
(Pearson et all,
1994 dalam Sukmaniar, 2007). Pemahaman mengenai konsep pemberdayaan tidak bisa
dilepaskan dari pemahaman mengenai siklus pemberdayaan itu sendiri, karena pada
hakikatnya pemberdayaan adalah sebuah usaha berkesinambungan untuk menempatkan
masyarakat menjadi lebih proaktif dalam menentukan arah kemajuan dalam
komunitasnya sendiri. Artinya program pemberdayaan tidak bisa hanya dilakukan
dalam satu siklus saja dan berhenti pada suatu tahapan tertentu, akan tetapi
harus terus berkesinambungan dan kualitasnya terus meningkat dari satu tahapan ke
tahapan berikutnya (Mubarak, 2010).
Menurut Wilson (1996)
terdapat 7 tahapan dalam siklus pemberdayaan
masyarakat. Tahap pertama
yaitu keinginan dari masyarakat sendiri untuk berubah menjadi lebih baik. Pada
tahap kedua, masyarakat diharapkan mampu melepaskan halangan-halangan atau faktor-faktor yang bersifat resistensi
terhadap kemajuan dalam dirinya dan komunitasnya. Pada tahap ketiga, masyarakat
diharapkan sudah menerima kebebasan tambahan dan merasa memiliki tanggung jawab
dalam mengembangkan dirinya dan komunitasnya. Tahap keempat yaitu upaya untuk
mengembangkan peran dan batas tanggung jawab yang lebih luas, hal ini juga
terkait dengan minat dan motivasi untuk
melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Pada tahap kelima ini hasil-hasil nyata dari pemberdayaan mulai kelihatan,
dimana peningkatan rasa memiliki yang
lebih besar menghasilkan keluaran kinerja yang lebih baik. Pada tahap
keenam telah terjadi perubahan perilaku dan kesan terhadap dirinya, dimana
keberhasilan dalam peningkatan kinerja mampu meningkatkan perasaan psikologis
di atas posisi sebelumnya. Pada tahap ketujuh masyarakat yang telah berhasil
dalam memberdayakan dirinya, merasa tertantang untuk upaya yang lebih besar
guna mendapatkan hasil yang lebih baik. Siklus pemberdayaan ini menggambarkan proses
mengenai upaya individu dan komunitas untuk mengikuti perjalanan ke arah prestasi dan kepuasan individu dan
pekerjaan yang lebih tinggi.
Apabila kita cermati
dari serangkaian literatur tentang konsep-konsep Pemberdayaan Masyarakat maka
konsep pemberdayaan adalah suatu proses yang diupayakan untuk melakukan
perubahan. Pemberdayaan masyarakat memiliki makna memberi kekuatan/daya kepada
kumpulan masyarakat yang berada pada kondisi ketidakberdayaan agar menjadi berdaya dan mandiri serta
memiliki kekuatan melalui proses dan tahapan yang sinergis.
2.2
Peranan Teori
Pemberdayaan Masyarakat
Teori dalam praktek
pemberdayaan masyarakat menggambarkan distribusi kekuasaan dan sumberdaya dalam
masyarakat, bagaimana fungsi-fungsi
organisasi dan bagaimana sistem dalam masyarakat mempertahankan diri. Teori di dalam pemberdayaan masyarakat
mengandung hubungan sebab dan pengaruh yang harus dapat di uji secara empiris. Hubungan sebab dan akibat/outcome yang terjadi karena
kejadian/aksi tertentu akan dapat memunculkan jenis intervensi yang dapat digunakan
oleh pekerja sosial dalam memproduksi outcome. Dalam kerja sosial, kita dapat menggunakan teori untuk
menentukan jenis aksi/kegiatan atau intervensi yang dapat digunakan untuk
memproduksi outcome/hasil. Pada umumnya
beberapa teori digabung untuk memproduksi model outcome.
1. Teori
Ketergantungan Kekuasaan (Power-Dependency)
Power
merupakan kunci konsep untuk memahami proses pemberdayaan. Tujuan dari kekuasaan
adalah untuk mencegah kelompok berpartisipasi dalam proses pengambilan
keputusan dan juga untuk memperoleh
persetujuan pasif kelompok ini untuk situasi ini. Power
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari interaksi sosial. Kekuasaan adalah fitur yang tidak
terpisahkan dari kehidupan sosial. Hal ini selalu menjadi bagian dari hubungan, dan tanda-tanda yang dapat dilihat
bahkan pada tingkat interaksi mikro (Sadan, 1997).
Lebih
lanjut (Abbot, 1996:16-17) menyatakan bahwa pengembangan masyarakat perlu
memperhatikan kesetaraan (equality),
konflik dan hubungan pengaruh kekuasaan (power
relations) atau jika tidak maka tingkat keberhasilannya rendah. Setelah kegagalan teori modernisasi
muncul teori ketergantungan, dimana teori ketergantungan pada prinsipnya
menggambarkan adanya suatu hubungan antar negara yang timpang, utamanya antara
negara maju (pusat) dan negara pinggiran (tidak maju). Menurut Abbot (1996: 20)
dari teori ketergantungan muncul pemahaman akan keseimbangan dan kesetaraan,
yang pada akhirnya membentuk sebuah pemberdayaan (empowerment) dalam partisipasi masyarakat dikenal sebagai teori
keadilan.
Pada
konteks pemberdayaan maka teori ketergantungan dikaitkan dengan kekuasaan yang
biasanya dalam bentuk kepemilikan uang/modal. Untuk
mencapai suatu kondisi berdaya/kuat/mandiri, maka sekelompok masyarakat harus
mempunyai keuangan/modal yang kuat. Selain uang/modal, maka ilmu pengetahuan/knowledge
dan aspek people/sekumpulan orang/massa yang besar juga harus dimiliki agar
kelompok tersebut mempunyai power. Kelompok yang memiliki power maka kelompok
itu akan berdaya.
2.
Teori Sistem (The Social System)
Talcott
Parsons (1991) melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para
pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat
seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons
adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat
tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun
berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika
masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan
yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons
termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.
Parsons
(1991) menyampaikan tiga fungsi
yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu: (a) Adaptasi, sebuah sistem hatus mampu
menanggulangi
situasi eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan. (b) Pencapaian,
sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. (c) Integrasi, sebuah sistem harus
mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus
dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.
Pemeliharaan
pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki motivasi
individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi. Apabila dimasukkan dalam aspek pemberdayaan masyarakat,
maka teori sistem
sosial ini mengarah
pada salah satu kekuatan yang harus dimiliki kelompok agar kelompok itu berdaya
yaitu memiliki sekumpulan orang/massa. Apabila kelompok itu memiliki massa yang
besar dan mampu bertahan serta berkembang menjadi lebih besar maka kelompok itu
dapat dikatakan berdaya.
3.
Teori Ekologi (Kelangsungan Organisasi)
Organisasi
merupakan sesuatu yang telah melekat dalam kehidupan kita, karena kita adalah
makhluk sosial. Kita
hidup di dunia tidaklah sendirian, melainkan sebagai manifestasi makhluk
sosial, kita hidup berkelompok, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Struktur organisasi merupakan kerangka
antar hubungan satuan-satuan organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas
serta wewenang yang masing-masing mempunyai peranan tertentu. Struktur
organisasi akan tampak lebih tegas apabila dituangkan dalam bentuk bagan organisasi.
Menurut Lubis
dan Husaini (1987)
bahwa teori organisasi
adalah sekumpulan ilmu
pengetahuan yang membicaraan mekanisme
kerjasama dua orang atau
lebih secara sistematis
untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan.
Teori organisasi merupakan
sebuah teori untuk
mempelajari kerjasama pada
setiap individu. Hakekat
kelompok dalam individu
untuk mencapai tujuan beserta
cara-cara yang ditempuh dengan menggunakan teori yang dapat menerangkan
tingkah laku, terutama motivasi,
individu dalam proses kerjasama. Pada teori ekologi, membahas tentang
organisasi sebagai wadah untuk sekumpulan masyarakat dengan tujuan yang sama
agar tertatur, jelas, dan kuat. Orientasi organisasi mengacu pada sekumpulan
orang/massa yang harus dimiliki kelompok untuk dapat memiliki power/daya. Kelompok yang memiliki organisasi dengan
kuat dan berkelanjutan maka kelompok ini dikatakan berdaya.
4. Teori
Konflik
Konflik
akan selalu muncul dan akan selalu dapat ditemukan dalam semua level kehidupan
masyarakat. Dalam interaksi, semua pihak bersinggungan dan sering malahirkan
konflik. Dalam konteks demikian, konflik didefinisikan bukan dari aspek para
pelaku konflik tetapi merupakan sesuatu yang given dalam interaksi sosial. Malah
konflik menjadi motor pergaulan yang selalu melahirkan dinamika dalam
masyarakat. Dikenal beberapa pendekatan teoritis untuk menjelaskan konflik sebagai kenyataan sosial. Diantaranya pendekatan ketimpangan dalam
dunia ekonomi yang menjelaskan bahwa munculnya konflik dikarenakan
ketidakseimbangan antara permintaan dan ketersediaan yang
menciptakan kelangkaan. Sementara di sisi
lain, individu bersifat individualis, mementingkan diri sendiri untuk
mendapatkan surplus yang ada. Adanya kesamaan antara individu membuka peluang
terjadinya perebutan pada satu komoditi dan sebaliknya juga membuka kerjasama
di antara para pelaku (Chalid, 2005).
Pada
proses pemberdayaan yang dilakukan di suatu lingkungan sosial (masyarakat) akan sangat sering
menemui konflik. Konflik yang terjadi berkaitan erat dengan ketidakpercayaan
dan adanya perubahan kepada mereka. Perubahan terhadap kebiasaan, adat istiadat
dan berbagai norma
sosial yang sudah
tertanam sejak lama di dalam masyarakat. Hal ini sesuai pendapat Stewart, 2005
dalam Chalid (2005) Terdapat tiga model penjelasan yang dapat dipakai untuk
menganalisis kehadiran konflik dalam kehidupan masyarakat, pertama penjelasan
budaya, kedua, penjelasan ekonomi, ketiga penjelasan politik. Perspektif budaya
menjelaskan bahwa konflik dalam masyarakat diakibatkan oleh adanya perbedaan
budaya dan suku. Dalam
sejarah, konflik cenderung seringkali terjadi karena persoalan perbedaan budaya
yang melahirkan penilaian stereotip. Masing-masing kelompok budaya melihat
sebagai anggota atau bagian dari budaya yang sama dan melakukan pertarungan
untuk mendapatkan otonomi budaya. Terdapat perdebatan tentang pendekatan
primordial terhadap realitas konflik. Sebagian
antropolog ada yang menerima dan sebagian menolak. Argumentasi kalangan yang menolak
beralasan bahwa terdapat masalah serius bila hanya menekankan penjelasan
konflik dari aspek budaya semata. Pendekatan
budaya tidak memasukkan faktor-faktor penting
dari aspek sosial dan ekonomi.
5. Teori
Mobilisasi Sumberdaya
Jasper,
(2010) menyatakan gerakan sosial terdiri dari individu-individu dan interaksi di antara anggota suatu masyarakat.
Pendekatan pilihan rasional menyadari
akan hal ini, tetapi versi mereka memperhitungkan individu sebagai abstrak
untuk menjadi realistis. Pragmatisme, feminisme, dan yang terkait dengan berbagai tradisi yang
mendorong lahirnya studi tentang aksi-aksi individu (individual action) dan aksi-aksi
kolektif (collective action) sejak
tahun 1960-an, yakni penelitian tentang
perlawanan (social resistence),
gerakan sosial (social movement) dan
tindakan kolektif (collective behavior)
berkembang di bawah inspirasi dari teori-teori besar tersebut. Dua dari mereka
di antaranya dipengaruhi oleh pandangan Marxisme, terutama sosiologi makro
versi Amerika yang menekankan teori
mobilisasi sumber daya (resource
mobilization theory) dan interaksi dengan negara.
Rusmanto, (2013) menyimpulkan bahwa untuk
mengetahui keinginan seseorang akan sangat terkait dengan tujuan di akhir orang
tersebut. Seseorang dari pertanyaan tersebut
mengarah kepada sebuah tujuan. Dalam hal ini, maka tujuan adalah pusat
pendekatan yang strategis sebagai taktik, meskipun dalam pemahaman umum, telah
keliru memahami bahwa strategi merupakan instrumen tujuan yang bersifat
sementara mencerminkan budaya dan emosi. Pada konteks pemberdayaan masyarakat
maka teori mobilisasi menjadi salah satu dasar yang kuat, karena untuk menjadi
seorang atau kelompok masyarakat yang berdaya/memiliki power selain uang, knowledge maka people juga mempunyai peranan yang penting. Kumpulan orang akan
memberikan kekuatan, kekuatan itu akan memberikan power pada orang atau
masyarakat itu.
6. Teori
Kontstruktivis (Constructivist)
Glasersfeld (1987)
menyatakan konstruktivisme
sebagai “teori pengetahuan
dengan akar dalam
“filosofi, psikologi dan cybernetics”. Von
Glasersfeld mendefinisikan konstruktivisme radikal selalu membentuk
konsepsi pengetahuan. Ia melihat pengetahuan sebagai sesuatu hal yang dengan
aktif menerima
apapun melalui pikiran sehat atau melalui komunikasi. Hal
itu secara aktif terutama dengan membangun
pengetahuan. Kognisi adalah adaptif
dan membiarkan sesuatu
untuk mengorganisir pengalaman dunia
itu, bukan untuk
menemukan suatu tujuan kenyataan. Konstruktivisme
pada dasarnya adalah suatu pandangan
yang didasarkan pada aktivitas
siswa dengan untuk menciptakan, menginterpretasikan, dan mereorganisasikan pengetahuan dengan jalan individual (Windschitl, dalam
Abbeduto, 2004).
Teori
konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat
generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda
dengan teori behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang
bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme
lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan
pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalamannya. Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar
yang lebih menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan
dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar
juga dinilai penting.
Pada proses pemberdayaan masyarakat
pendekatan teori belajar secara konstruktivis perlu ditanamkan dan diupayakan agar
masyarakat mampu menkonstruksi pemahaman untuk berubah. Pemberdayaan masyarakat
hendaknya tetap mempertahankan nilai-nilai yang sudah melekat di masyarakat
selama nilai tersebut
baik dan benar. Nilai-nilai
kebersamaan, keikhlasan, gotong-royong, kejujuran, kerja keras harus dibangun
dan dikonstruksikan sendiri oleh masyarakat untuk menciptakan perubahan agar
lebih berdaya. Keterkaitan
dengan konsep pemberdayaan maka aspek ilmu (knowledge)
yang ada di dalam masyarakat perlu dibangun dengan kuat dan di kontruksikan di
dalam masyarakat itu sendiri.
2.3 Proses Pemberdayaan Masyarakat
Pranarka & Vidhyandika (1996)
menjelaskan bahwa proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama,
proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan
sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu
lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai
kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua
atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses
menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau
keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan
hidupnya melalui proses dialog. Sumardjo (1999) menyebutkan
ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu:
- Mampu memahami diri dan
potensinya, mampu
merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan).
- Mampu mengarahkan dirinya
sendiri.
- Memiliki kekuatan untuk
berunding.
- Memiliki bargaining
power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling
menguntungkan, dan
- Bertanggungjawab atas
tindakannya.
Slamet (2003) menjelaskan lebih
rinci bahwa yang dimaksud dengan masyarakat
berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, paham,
termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu
bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu
mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap
informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi.
Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang
memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan
dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.
2.4 Tujuan dan Tahapan Pemberdayaan Masyarakat
Jamasy (2004) mengemukakan bahwa
konsekuensi dan tanggungjawab utama dalam program pembangunan melalui
pendekatan pemberdayaan adalah masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan
atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan
material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama, kekuatan intelektual dan komitmen
bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan.
Terkait dengan tujuan pemberdayaan,
Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah
untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut
meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka
lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh
masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan
sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi
dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki.
Daya/kemampuan
yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif
serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material. Kondisi kognitif pada
hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan
wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi.
Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk dan
diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pemberdayaan
masyarakat. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan yang dimiliki oleh
individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam
sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan kecakapan keterampilan
yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung masyarakat dalam rangka melakukan
aktivitas pembangunan.
Adapun tujuan pemberdayaan masyarakat dapat
diuraikan sebagai berikut: Upaya pemberdayaan
masyarakat bertujuan untuk membuat masyarakat menjadi mandiri, dalam arti
memiliki potensi untuk mampu memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi, dan
sanggup memenuhi kebutuhannya dengan tidak menggantungkan hidup mereka pada
bantuan pihak luar, baik pemerintah maupun organisasi-organisasi
non-pemerintah. Bantuan technical
assistance jelas mereka perlukan, akan tetapi bantuan tersebut harus mampu
membangkitkan prakarsa masyarakat untuk membangun bukan sebaliknya justru
mematikan prakarsa. Dalam hubungan ini, kita dituntut menghargai hak-hak
masyarakat yaitu Right of
Self - Determination dan Right for
Equal Opportunity. Hak untuk menentukan sendiri untuk memilih apa yang
terbaik bagi masyarakat, serta hak untuk memperoleh kesempatan yang sama untuk
berkembang sesuai dengan potensi-potensi yang mereka miliki.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya tentang pemberdayaan masyarakat maka kami menarik kesimpulan bahwa konsep
pemberdayaan adalah sebuah proses berkelanjutan yang mengupayakan transfer
kekuasaan yang didasari penguatan modal sosial, kepercayaan (trust), patuh
aturan (role), dan jaringan
(networking), disambut partisipasi
dan komunikasi aktif dengan metode bottom-up
yang dilandasi sikap saling percaya dari masyarakat untuk mengubah dan
mementukan nasibnya untuk pencapaian suatu tujuan tertentu (kesejahteraan
ekonomi).
Dalam konteks
pemberdayaan, paradigma memiliki peran untuk membentuk
apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat suatu masalah, apa yang kita anggap sebagai masalah
ketidakberdayaan itu, apa masalah yang
kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta metode apa yang kita gunakan untuk meneliti dan melakukan
intervensi atas masalah tersebut. Begitu
juga paradigma akan mempengaruhi apa yang tidak kita pilih, apa yang tidak ingin kita lihat, dan apa yang tidak ingin kita ketahui.
Paradigma pula yang akan
mempengaruhi pandangan seseorang mengenai apa yang ‘adil dan tidak adil’, baik-buruk, tepat
atau tidaknya suatu program dalam memecahkan
masalah sosial.
Teori dalam praktek
pemberdayaan masyarakat menggambarkan distribusi kekuasaan dan sumberdaya dalam
masyarakat, bagaimana fungsi-fungsi
organisasi dan bagaimana sistem dalam masyarakat mempertahankan diri. Teori pemberdayaan masyarakat yang
digunakan dalam proses pemberdayan antara lain: Teori
Ketergantungan Kekuasaan, Teori
Sistem, Teori Ekologi, Teori Konflik,
Teori mobilisasi Sumberdaya, dan Teori Konstruktivis.
Upaya pemberdayaan
masyarakat bertujuan untuk membuat masyarakat menjadi mandiri, dalam arti
memiliki potensi untuk mampu memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi, dan
sanggup memenuhi kebutuhannya dengan tidak menggantungkan hidup mereka pada
bantuan pihak luar, baik pemerintah maupun organisasi-organisasi non-pemerintah.
Dalam hubungan ini, kita dituntut menghargai hak-hak masyarakat yaitu Right of Self - Determination and Right for Equal Opportunity.
DAFTAR
PUSTAKA
Adedokun, O.M. C.W,
Adeyamo, and E.O. Olorunsula. 2010. The
Impact of Communication on Community Development. J Communication, 1(2):
101-105.
Chalid, Pheni. 2005. Otonomi Daerah Masalah, Pemberdayaan dan
Konflik. Penebar Swadaya. Cetakan pertama. Jakarta.
Chambers,
R. 1985. Rural Development : Putting The
Last First. New York.
Foy, Nancy. 1994. Empowering People at Work. London: Grower Publishing Company.
Friedman,
John. 1992. Empowerment The Politics of
Alternative Development. Blackwell Publishers, Cambridge, USA.
Glasserfield,
E. (1987). A Constructivist Approach to
Teaching. In L. Steffe & J. Gale (Eds.), Constructivism In Education. Hillsdale, NJ, Lawrence Erlbaum. (pp.
3-16).
Ife,
J.W. 1995. Community Development:
Creating Community Alternatives-vision, Analysis and Practice. Melbourne:
Longman.
Jasper, James M. 2010. Social Movement
Theory Today: Toward
a Theory of
Action? Graduate
Center of the City University of New York.
Jimmu, M.I. 2008. Community
Development: A
Cross-Examination of Theory and Practice Using Experiences in Rural Malawi.
Africa Development, Vol.
XXXIII, No. 2, 2008, pp. 23–3.
Koentjaraningrat. 2009: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Djambangan. Jakarta. Longman.
Lubis, Hari &
Huseini, Martani.1987. Teori Organisasi;
Suatu Pendekatan Makro. Pusat
Antar Ilmu-ilmu Sosial UI: Jakarta.
Mubarak,
Z. 2010. Evaluasi Pemberdayaan Masyarakat
Ditinjau Dari Proses Pengembangan Kapasitas Pada Program PNPM Mandiri Perkotaan
Di Desa Sastrodirjan Kabupaten Pekalongan.Tesis.Program Studi Magister Teknik
Pemberdayaan Wilayah Dan Kota. Undip. Semarang.
Pearsons,
Talcot. 1991. The Social System.
Routledge is an imprint of Taylor & Francis, an informa company.
Prijono,
Onny S. dan Pranarka A.M.W. (ed.). 1996. Pemberdayaan:
Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and
International Studies (CSIS).
Rusmanto,
Joni. 2013. Gerakan Sosial Sejarah
Perkembangan Teori Kekuatan dan Kelemahannya. Zifatama Publishing.
Sidoarjo.
Sadan,
Elisheva. 1997. Empowerment and Community
Planning: Theory and Practice of People-Focused Social Solutions. Tel Aviv:
Hakibbutz Hameuchad Publishers.in Hebrew.
Shucksmith,
Mark. 2013. Future Direction in Rural
Development. Carnegie UK Trust. England.
Soetomo.
2006. Strategi-strategi Pembangunan
Masyarakat, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Suharto E.
2005. Membangun
Masyarakat Memberdayakan
Rakyat. Kajian Strategi
Pembangunan Kesejahteraan Sosial
dan Pekerjaan Sosial.
Bandung: PT Refika Aditama.
3 komentar:
izin ngutip gan/sis
Kak izin copas yaa
Maaf kalo boleh tahu siapa penulisnya yah ?
Posting Komentar